Setitik Noda Hitam Kerusuhan Mei 1998; Kekerasan, Pemerkosaan, dan Penjarahan Massal
Siap – Dua puluh lima tahun lalu, pertengahan Mei 1998, Indonesia mengalami sebuah gradasi besar politik.
Rangkaian peristiwa itu dikenal dengan Kerusuhan Mei '98.
Potongan-potongan kisah terkait kekerasan massal terjadi di sejumlah kota, seperti Jakarta, Depok, dan Bogor.
Pengalaman hidup yang tentunya membekas di hati para pelaku apalagi korban.
Bagi pemerhati sejarah dan budaya David Kwa, 1998 disebut sebagai Tahun Macan Melintas Gunung.
Rentetan peristiwa menyeramkan dan mencekam tersebut harus dirasakan masyarakat Indonesia, terlebih bagi komunitas peranakan Tionghoa.
"Sangat memilukan kalau kembali dikenang," kata David Kwa seperti dikutip siap.viva.co.id, beberapa waktu lalu.
Pada masa itu, kata David, situasi politik Indonesia kian memanas akibat dilanda krisis moneter sejak Juli 1997.
Unjuk rasa besar-besaran yang dimotori mahasiswa terjadi secara masif di sejumlah kota.
Puncaknya ketika terjadi kasus penembakan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta pada Selasa, 12 Mei 1998.
"Mahasiswa dan masyarakat mengamuk terhadap rezim Soeharto," katanya.
Akibat tragedi berdarah tersebut, Kamis, 14 Mei 1998, terjadi kerusuhan dan penjarahan massal yang tertuju pada etnis Tionghoa.
Tak hanya menjarah, beberapa toko dan fasilitas umum di sejumlah kota di Indonesia juga turut dibakar oleh massa.
"Juga pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa," kata David.
Berangus nonpribumi
Salah seorang pelaku yang turut menjarah pada saat Kerusuhan Mei '98 mengatakan, ketika peristiwa itu terjadi sentimentil terhadap peranakan Tionghoa begitu besar.
"Yang berbau Cina, diserang. Toko dijarah dan dibakar," kata pelaku yang enggan disebutkan namanya kepada siap.viva.co.id.
Kerusuhan tersebut tak ayal memperkaya gambaran betapa kejamnya massa yang tidak bertanggung jawab pada saat itu.
Pada awalnya, ia mengaku tidak ada niat untuk melakukan hal yang memilukan tersebut.
Ketika ia sedang duduk di halaman rumah, ratusan orang lewat sambil mengajak warga setempat melakukan demo.
Wajah mereka, kata pelaku, begitu merah. Sorotan mata para massa tampak tajam, namun juga penuh dengan kobaran amarah.
Kamis siang, 14 Mei 1998, di setiap jalan perumahan di Depok menjadi lautan manusia.
Dari segala penjuru kampung tumpah ruah menuju kawasan pertokoan yang berada di Jalan Nusantara dan Jalan Margonda.
Tak hanya orang dewasa, anak-anak di bawah umur juga tampak dalam barisan tersebut.
"Sambil teriak bantai orang Cina! Bakar," ucap pelaku.
'Razia' terhadap toko etnis Tionghoa pun dilakukan.
Tanpa rasa malu, massa merusak tralis toko yang tidak tertulis 'Milik Pribumi.'
Menjarah apa pun yang ada di dalam toko tersebut, mulai dari bahan makanan sampai peralatan elektronik.
"Kalau ada sajadah dan tulisan 'milik pribumi' dilewati oleh massa," katanya.
Sekira asar, kata pelaku, Jalan Nusantara sudah dipenuhi massa dari berbagai daerah.
Ban bekas yang dibakar massa tergeletak tak terhitung di setiap sisi jalan.
Asap hitam mengepul diiringi sorak sorai massa yang seolah memenangi sebuah peperangan besar.
Ratusan anak-anak kecil juga tampak kegirangan. Bahkan tak sedikit dari mereka yang di tangan kanan dan kirinya membawa bahan makanan seperti susu dan roti.
"Malah saya lihat ada anak kecil yang bawa sepeda (hasil jarahan)," tukasnya.
Setelah semua toko ludes dijarah dan dibakar, massa berangsur membubarkan diri.
Duka yang ditinggalkan begitu saja bagi mereka, para peranakan Tionghoa yang menjadi amukan massa.
Namun, memasuki malam hari, sekira jam 7 malam, ratusan massa yang entah dari mana datangnya kembali melewati rumah si pelaku.
"Lagi, mereka teriak ganyang Cina! Habisi semuanya," kata pelaku.
Ia merasa heran dan penasaran. Pasalnya, semua toko yang berada di Jalan Nusantara dan Margonda telah habis dijarah.
"Akhirnya saya ikut lagi," katanya.
Massa itu kembali menyatroni toko-toko dan bahkan rumah yang dihuni oleh keluarga Tionghoa.
Nahasnya, selain merampok, massa yang gelap mata itu mencari perempuan-perempuan Tionghoa.
"Mereka memperkosa perempuan Cina. Saya langsung balik, gak tega, tapi gak bisa berbuat apa-apa," katanya dengan nada getir.
"Peristiwa memalukan itu terjadi hingga dua malam berturut-turut. Massa pun sama. Polisi tidak berdaya saat itu," katanya.