Agus Rahardjo Ungkap Alasan Dibalik Penolakan Revisi UU KPK Diduga Ada Perintah Tersembunyi Jokowi

Jokowi dan setnov
Sumber :
  • Istimewa

Siap –Eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Agus Rahardjo, menggegerkan publik dengan mengungkap keterlibatan pribadinya dalam penolakan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait menghentikan kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setya Novanto

Dalam wawancara eksklusif dengan Rosi, Agus menilai revisi Undang-Undang KPK tidak terlepas dari keputusannya untuk tetap mengusut kasus kontroversial tersebut.

Pada 17 Juli 2017, Setya Novanto, saat itu Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, ditetapkan sebagai tersangka megaproyek E-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. 

Agus mengungkapkan bagaimana dirinya dipanggil oleh Jokowi ke Istana pada 2017, di mana presiden meminta KPK menghentikan kasus tersebut.

 Namun, Agus tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) sudah diterbitkan sebelumnya.

Dalam proses revisi UU KPK, lembaga antirasuah itu mendapat serangan bertubi-tubi, dengan isu KPK disebut sebagai sarang taliban.

 Akibatnya, dukungan masyarakat sipil ke KPK menurun. Agus menegaskan bahwa revisi UU KPK membuat lembaga itu lebih rentan terhadap intervensi kekuasaan.

Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, merespons pernyataan Agus tanpa menjawab secara tegas apakah Jokowi memerintahkan menghentikan kasus E-KTP.

Ia menyerukan agar publik melihat proses hukum Setya Novanto yang berlanjut sampai tingkat pengadilan.

Terkait revisi UU KPK, Ari menegaskan bahwa itu merupakan inisiatif DPR, bukan pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto. 

Proses revisi tersebut mendapat sorotan karena dianggap melemahkan KPK, dengan penempatan lembaga tersebut di bawah presiden dan pegawainya berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Meskipun penolakan revisi UU KPK dilakukan secara besar-besaran dengan aksi nasional dan protes di berbagai kota, pemerintah dan DPR tetap mensahkan revisi tersebut menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. 

Kontroversi ini meninggalkan pertanyaan besar tentang independensi KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi.