Catatan Andi Tatang di Balik Drama 'Jalur Damai' Anggota DPRD Depok
- Istimewa
Siap – Kasus dugaan asusila atau pencabulan yang dilakukan oknum anggota DPRD Depok berinisial RK terhadap seorang siswi SMP telah menyita perhatian publik.
Terkait hal itu, pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka membantah sederet tuduhan tersebut.
Nah mengejutkannya lagi, En ibu korban yang semula getol memperkarakan kasus ini belakangan malah menyebut perkara yang menimpa anaknya cuma rekayasa.
Ia mengaku telah menempuh jalur damai dengan RK. Keduanya sepakat menyelesaikan persolan dengan cara kekeluargaan.
Pernyataan itu diungkapkan RK dan En pada sejumlah awak media beberapa hari lalu.
Merespon hal tersebut, praktisi hukum Andi Tatang ikut angkat bicara.
Menurut dia, sejatinya dalam proses penegakan hukum terdapat penyelidikan untuk mencari ada tidaknya tindak pidana, kemudian dilanjutkan dengan proses penyidikan.
Nah menurut pasal 1 angka 2 adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti.
"Sehingga dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanyam," jelas Tatang dikutip pada Selasa, 7 Januari 2025.
Artinya, kata Tatang, dalam proses penyidikan, maka tim penyidik mencari alat bukti untuk membuat terang dan jelas peristiwa pidana, sekaligus menemukan dan juga menentukan tersangka-nya.
"Di mana berdasarkan pasal 1 angka 14 menyatakan, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana," tuturnya.
Hal tersebut, berarti dalam menentukan tersangka seorang penyidik melihat adanya bukti permulaan yang cukup.
Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, keterangan terdakwa atau tersangka.
"Jadi, untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka haruslah didapati bukti permulaan yang cukup, yaitu paling sedikit 2 jenis alat bukti, dan ditentukan melalui gelar pekara," bebernya.
Adapun jika seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka keberatan atas penetapan tersangka dengan alasan terdapat dugaan manipulasi atau rekayasa, maka pihak yang bersangkutan dapat melakukan upaya praperadilan.
Ini untuk membuktikan bahwa penetapan tersangka adalah salah, karena tidak didasarkan alat bukti yang cukup atau salah menentukan tersangkanya.
"Namun praperadilan tidak menyediakan ruang bagi penghentian penegakan hukum atas peristiwa tindak pidana yang diselesaikan dengan jalur perdamaian," tegasnya.
Akan tetapi, menjadi suatu pertanyaan yang substansial dan harus diketahui umum dapatkah dugaan tindak pidana atau tindak pidana pencabulan terhadap anak yang telah dilakukan penyidikan dan penetapan tersangka dihentikan atau dilakukan SP3 dengan alasan perdamaian atau keadilan restoratif?
"Dalam keadilan restoratif, kejahatan dilihat sebagai pelanggaran dari seseorang terhadap orang lain dan masyarakat. Kejahatan mempunyai dua dimensi baik individual maupun sosial. Pelanggaran menciptakan tanggung jawab dan berfokus pada penyelesaian masalah."
Dosen Ilmu Hukum itu kemudian menjelaskan, hal itu didefinisikan sebagai menerima tanggung jawab dan bersedia untuk memperbaiki atau mengganti kerugian dengan engutamakan dialog dan negosiasi.
Namun Tatang memastikan hal itu tak berlaku untuk kasus pencabulan terhadap anak.
"Bahwa pencabulan terhadap anak dikategorikan sebagai tindak pidana kesusilaan yang saat ini meresahkan masyarakat dan berdampak pada konflik sosial. Artinya jenis tindak pidana kesusilaan ini tidak dapat dilakukan restorative justice," terangnya.
Kemudian, lanjut Tatang, adapun klaim perdamaian yang dilakukan oleh para pihak merupakan inisiatif dari para pihak yang membuatnya, namun secara hukum tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan proses penegakan hukum.
"Artinya, tidak ada alasan hukum atau legal reason yang membenarkan pengehentian tindak pidana pencabulan terhadap anak karena telah dilakukan perdamaian oleh para pihak," tuturnya.
Tatang berpendapat jika seseorang (pelaku) menyatakan telah berdamai dengan pihak korban atas suatu peristiwa, berarti para pihak menyadari telah terrjadi suatu peristiwa tersebut tanpa bisa diingkari.
"Namun (damai) hanya dapat dilakukan terhadap perkara pidana ringan atau tertentu."
Itu sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Lalu Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Itu tidak dapat diberlakukan untuk tindak pidana berat atau tindak pidana khusus termasuk pencabulan terhadap Anak.
"Karena jika restorative justice atau perdamaian dapat dilakukan terhadap tindak pidana pencabulan anak, maka berpotensi besar meresahkan dan/atau mendapat penolakan dari Masyarakat serta berpotensi berdampak pada konflik sosial."
Lindungi Hak Korban
Selain membahas hal tersebut, Andi Tatang juga menyorot etika jurnalistik dalam kasus asusila yang melibatkan anak, khususnya dalam perkara dugaan cabul oknum anggota DPRD Depok.
"Pada dasarnya semua informasi yang dapat mengungkap jati diri anak pelaku, anak korban, dan anak saksi suatu kejahatan harus disembunyikan, tidak boleh diungkapkan dalam berita," jelasnya.
"Untuk itu, seluruh insan pers harus selalu merujuk pada tiga suri utama pembuatan berita. Yakni, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA)," timpalnya lagi.
Tatang mengingatkan, bahwa kewajiban media untuk melindungi identitas anak yang bermasalah secara hukum juga sudah termaktub dalam Pasal 5 KEJ.
"Pasal ini menuliskan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan," terangnya.
Sementara tentang definisi anak, ialah seseorang yang belum berusia 18 tahun, baik masih hidup maupun sudah meninggal dunia, sudah menikah maupun belum menikah.
Ancaman Pidana
Selanjutnya, terdapat penjelasan mengenai identitas dalam Pasal 19 ayat (1) UU SPPA yang dijelaskan lebih lanjut pada pasal 19 Ayat (2) UU SPPA.
Identitas dalam pasal 19 ayat (1) mencakup pada nama, wajah, alamat, nama orang tua dari ABH dan/atau anak yang berkonflik dengan hukum dan hal lain yang menyebabkan jati diri ABH dan/anak yang berkonflik dengan hukum terbongkar.
Kerahasiaan terhadap identitas anak dalam publikasi diatur juga dalam UU SPPA yaitu pada Pasal 97.
Pada pasal tersebut menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap kerahasiaan identitas anak yang dipublikasi dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000.
Pelanggaran hak anak dengan disebarkannya identitas anak yang berkonflik dengan hukum melanggar Pasal 19 Ayat (1) UU SPPA sehingga dapat dijatuhi pidana jika merujuk pada Pasal 97 UU SPPA.
Selain diatur dalam UU SPPA, perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum juga diatur dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).
Pelanggaran melanggar Pasal 19 Ayat (1) UU SPPA sehingga dapat dijatuhi pidana jika merujuk pada Pasal 97 UU SPPA yang dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000.