Pengusaha Mutiara asal Lombok Sebut Harga Penjualan Bisa Capai Rp 4,5 Miliar, Tertarik Bisnis Ini?
- Dok/kemenkopukm.go.id
Siap – UMKM budidaya mutiara mungkin belum terlalu populer di Tanah Air, tapi justru itu menjadi peluang yang menjanjikan bagi pelaku usahanya. Hal inilah yang melatari Baiq Maesarah bergerak mengangkat potensi produk mutiara daerah hingga ke mancanegara.
Dilansir dari kemenda.go.id, Indonesia adalah penghasil mutiara laut selatan (Indonesian South Sea Pearl) terbesar di dunia. Hingga tahun 2014 diperkirakan menembus 5,400 kilogram atau sekitar 50 persen dari total 12,700 kilogram. Daerah penghasil tersebar di Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Salah satu yang terkenal berasal Lombok.
Peluang berbisnis mutiara ini yang ditangkap oleh Baiq Maesarah. Perempuan yang akrab dipanggil Sara ini pun mendirikan May Mutiara Lombok yang memasarkan produk dari mutiara laut. Menariknya, usaha ini dia bangun hanya bermodalkan kuota internet.
"Saya memilih mutiara menjadi produk usaha dengan alasan bahwa produk ini adalah salah satu unggulan daerah saya, yaitu Nusa Tenggara Barat. Saya juga melihat besarnya peluang dari usaha ini," kata Sara seperti dikutip.
Dalam pameran itu, sejumlah produk May Mutiara Lombok ini memang terlihat menonjol. Maklum di dunia perhiasan internasional menjuluki Mutiara Laut Selatan sebagai 'queen of gems', berkat kualitas yang tinggi dan keindahannya begitu memukau.
Butirannya besar dan bulat sempurna serta memancarkan kilauan yang sangat indah. Diameter mutiara mulai dari 9mm hingga 20mm, dengan rata-rata 12mm atau 13mm. Di pasaran internasional harganya bisa mencapai antara US$ 10.000 hingga US$ 300.000 atau dirupiahkan berkisar Rp 150 juta hingga Rp 4,5 miliar.
Menurut data Badan Pusat Statistik, Indonesia telah mengekspor mutiara budidaya senilai US$ 8,47 juta pada tahun 2017.
Bahkan, Indonesia merupakan produsen mutiara laut selatan terbesar di dunia. Dari sebesar 11 ton produksi mutiara laut selatan dunia, Indonesia menyumbang sebesar 5 ton.
Sayangnya, produk kerajinan mutiara Lombok masih belum popular di masyarakat. Menurut Sara, hal itu terutama karena para pengrajin di daerah kurang dapat menjangkau pasar yang luas.
Pasalnya, para pengrajin itu tidak memiliki akses pemasaran di luar wilayah NTB. Jadi produk mereka baru laku ketika ada kegiatan seperti seminar, atau acara besar yang mendatangkan wisatawan dari luar Lombok.
"Dengan melihat potensi dan peluang ini akhirnya saya memulai bisnis ini dengan modal paket data dan kepercayaan," katanya.
Dikutip dari situs kemenkopukm.go.id, Sara memanfaatkan internet untuk memasarkan produk-produk dari para pengrajin mutiara di daerahnya.
Ia membuat website sekaligus memasarkan produk-produk mutiara Lombok melalui media sosial.
Alhasil, omzet May Mutiara Lombok bisa mencapai puluhan juta setiap bulannya. Menurut Sara, minat orang luar pada mutiara Lombok sangat besar.
Apalagi mutiara Lombok memiliki 27 warna khas dibandingkan mutiara daerah lain. Bentuknya juga beragam dari cincin, kalung, gelang hingga aksesoris lainnya.
Perempuan kelahiran Saung, 26 April 1990 ini mengaku, bisnis yang ditekuninya tersebut hanya bermodalkan kepercayaan.
Kepercayaan dari para pengrajin mutiara yang menjadi rekanannya dan kepercayaan dari para pembeli online.
"Awal pemasarannya saya mencoba mempromosikannya lewat media sosial. Begitu ada netizen yang tertarik, saya berusaha mereka membayarnya terlebih dahulu atas kepercayaan yang sudah diberikan kepada saya tadi melalui komunikasi lewat chat. Setelah saya terima uang dari calon pembeli, saya langsung membeli ke pengrajinnya. Selanjutnya, pesanan tadi dikirimkan ke pelanggan," katanya.
Jiwa wirausaha ini berawal dari keinginan Sara untuk mengangkat perekonomian keluarga. Pasalnya dia lahir dari pasangan keluarga petani, Saenum dan Lalu Kebon.
Meski demikian, kedua orang tuanya berhasil mendoron Sara untuk meraih pendidikan tinggi, hingga ia bisa mengantongi gelar sarjana dari Universitas Mataram.
"Jujur saja, saya lahir dari orang tua yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Saya bersaudara 7 orang, namun tinggal 4 orang yang masih hidup. Sebagai anak pertama, alhamdulillah saya berhasil menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Mataram dan wisuda tahun 2012," katanya.
Namun, bekal pendidikan itu saja ternyata tidak cukup untuk bisa mengangkat ekonomi keluarganya. Padahal Sara sudah menjadi tenaga pengajar di berbagai lembaga pendidikan swasta. Oleh karena itu, terpikir oleh Sara untuk terjun mengembangkan wirausaha.