Mengurai Jejak Ratu Pembayun di Tapos Depok
- Istimewa
Siap – Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa kota Depok, Jawa Barat, merupakan salah satu lokasi yang sarat akan nilai historis.
Seperti arus kisah Ratu Ayu Pembayun Fatimah atau Ratu Pembayun yang pernah singgah di Tapos, Depok.
Setidaknya, hal tersebut diyakini oleh Budayawan Sunda Bambang Sumantri (41).
Menurut Sumantri, Ratu Pembayun ikut bersama suaminya Pangeran Tubagus Angke atau Pangeran Jayakarta II ketika berperang melawan penjajah Belanda, dan melarikan diri ke Tapos guna mencari tempat perlindungan.
"Saat perang terjadi, pasukan Pangeran Jayakarta II banyak yang melarikan diri ke arah barat, selatan, dan tenggara. Di Tapos, yang dulu masih hutan belantara merupakan salah satu tempat kumpul pasukannya," kata Sumantri beberapa waktu lalu.
Pada masa itu, kata Sumantri, selain menghindari kejaran pasukan Belanda, Ratu Pembayun juga sempat menyiarkan agama Islam kepada masyarakat yang ada di Tapos.
Hal tersebut juga dipercayai oleh salah seorang tokoh masyarakat setempat Habib Abu Bakar Al Hadad.
"Ya, kalau orang tua dulu bilang, di sini merupakan petilasan Ratu Pembayun saat melawan penjajah," ucap Habib Abu Bakar di Tapos.
Silsilah dan perjuangan Ratu Pembayun bersama Pangeran Jayakarta II
Ratu Ayu Pembayun Fatimah adalah anak dari Fatahillah (Pangeran Jayakarta), tokoh heroik yang mengusir Portugis dari pelabuhan Sunda Kelapa (sekarang Jakarta).
Bersama suami tercinta, Pangeran Jayakarta II, Ratu Pembayun ikut serta berperang melawan Portugis, Inggris, dan Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629).
Dalam buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta yang ditulis oleh Pater Adolf Heuken, Pangeran Jayakarta II disebut oleh Inggris dan Belanda sebagai 'Regent of Jakarta' atau 'Koning van Jacatra'.
Pada saat itu, orang-orang Eropa, seperti Inggris dan Belanda (sebelumnya pada abad ke-16 orang Portugis juga sudah mendatangi Jakarta) mulai berdatangan, yang di kemudian hari justru berperang melawannya.
Adapun awal perang itu bermula saat kolonial Belanda berhasil mendapat hak atas tanah seluas 94 meter persegi di sisi timur Sungai Ciliwung pada November 1610.
Namun, dalam perjalanannya, kongsi dagang Hindia-Belanda malah mempraktikkan sistem monopoli yang licik, sehingga merugikan Pangeran Jayakarta II.
Perselisihan pun terjadi dan merebak antara tahun 1610-1619.
Dalam konflik itu, Pangeran Jayakarta II mendapat bantuan pasukan dari Banten dan Cirebon.
Tak tahan dikeroyok, JP Coen akhirnya memilih kabur ke Ambon dan meminta tambahan pasukan.
Setelah mendapat pasukan tambahan, JP Coen kembali menggempur Pangeran Jayakarta II dengan menggelorakan semboyan despereet niet (jangan putus asa).
Alhasil, JP Coen langsung menghancurkan pasukan koalisi Pangeran Jayakarta II (Banten dan Cirebon).
"Meski kalah, mereka tetap melakukan perlawanan pada tahun berikutnya. Akhirnya, pada tahun 1625, Ratu Pembayun gugur ditembak oleh kolonial Belanda di Jatinegara," kata Sumantri.
Sedangkan Pangeran Jayakarta II berhasil mengelabui tentara kolonial Belanda dengan melepas jubah dan sorbannya, yang lantas dibuang ke dalam sebuah sumur di Mangga Dua.
Penjajah Belanda mengira bahwa Pangeran Jayakarta II tewas setelah menembaki jubah dan sorban di sumur itu, yang kini berada di Jalan Pangeran Jayakarta, dan dikenal sebagai keramat Pangeran Jayakarta.