Melongok Pesona Kelenteng Hok Tek Bio, Benteng Kerukunan Masyarakat Sunda dan Tionghoa di Bogor

- siap.viva.co.id - Noer Ardiansyah
Siap – Kelenteng Hok Tek Bio di Ciampea, Bogor, menjadi bukti nyata kerukunan masyarakat Sunda dan Tionghoa yang telah terjalin sejak ratusan tahun lalu.
Dibangun pada tahun 1746, kelenteng ini berdiri sebagai tonggak kebangkitan peranakan Tionghoa yang mengungsi ke Buitenzorg (Bogor) akibat peristiwa Geger Pecinan di Batavia pada Oktober 1740.
Kelenteng ini awalnya didirikan sebagai pusat kegiatan sosial, tempat penampungan, sekaligus lokasi berkumpulnya orang-orang Tionghoa yang melarikan diri dari kejaran pasukan VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.
Namun, peran kelenteng lebih dari sekadar tempat ibadah
“Kelenteng adalah lembaga sosial kemasyarakatan. Milik siapa pun, semangat awalnya seperti itu,” kata Tan Ta Yang, pengurus Hok Tek Bio, beberapa waktu lalu.
Tan menjelaskan, kawasan Ciampea dahulu masih berupa hutan belantara di bawah kekuasaan kerajaan.
Setelah kedatangan kolonial, sebagian tanah Bogor diambil untuk didirikan istana dan tangsi militer.
Ketika Indonesia merdeka, tangsi ini berubah fungsi menjadi pasar tradisional, mendukung perekonomian etnis Tionghoa yang perlahan membaik.
Menurut Tan, keharmonisan antara masyarakat Sunda dan Tionghoa menjadi kunci utama dalam menciptakan lingkungan yang damai.
Tradisi leluhur untuk hidup berdampingan terlihat jelas, terutama saat perayaan budaya seperti Cap Go Meh.
Generasi pertama Tionghoa menjaga hubungan baik dengan masyarakat lokal, yang menciptakan asimilasi budaya hingga kawin silang antara Tionghoa dan Sunda.
“Kalau masalah budaya, kita melebur menjadi satu. Bahkan, perbedaan agama tidak pernah menjadi masalah,” ujarnya.
Tan juga mengungkapkan bahwa orang Tionghoa, yang kebanyakan berdagang, memberdayakan masyarakat lokal dengan merekrut mereka sebagai pekerja.
Hal ini mempererat hubungan sosial dan ekonomi kedua komunitas.
Bogor, yang dijuluki Kota Hujan, menjadi contoh nyata kota yang menjunjung tinggi kerukunan.
“Sejak dulu, kehidupan di sini selalu damai. Tidak pernah ada cekcok antara masyarakat Sunda dan Tionghoa. Ini sudah menjadi tradisi nenek moyang kami,” tambah Tan.
Ia berharap, semangat perdamaian dan kerukunan ini dapat terus dipertahankan dan menjadi teladan bagi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi kerukunan antarumat beragama.
“Inilah harapan leluhur kita, kerukunan antarsesama,” tandasnya.