Mengurai Jejak Suku Hokkian di Kota Bogor

Jalan Surya Kencana, Bogor, pada masa pemerintahan Hindia-Belanda.
Sumber :
  • kominfo.kotabogor.go.id

Siap – “She ai che ni che sung tie, yang namanya 4 penjuru mata angin adalah saudara kita, bukan untuk mencari ribut. Dalam prinsip orang-orang Tionghoa, jangan Anda mematikan usaha seseorang. Di dalam usaha mereka, bukan sistem segitiga, tapi lingkaran yang disebut Tai Chi. Di dalam lingkaran tersebut ada yang namanya Yin Yang, keseimbangan,” tutur Kepala Pengurus Vihara Dhanagun Ayung di Jalan Surya Kencana, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Di tengah bising kendaraan yang lalu lalang di sepanjang Jalan Surya Kencana, Bogor, mungkin Anda akan sedikit tercengang akan keberadaan satu vihara yang berada nyempil di antara beberapa pusat perbelanjaan. 

Sebelum masuk ke dalam Jalan Surya Kencana, terlebih dahulu kita akan melihat gapura di depan, persis bercokol dua macan yang menjadi khas Kerajaan Siliwangi.

Hal tersebut, tentu membuat kita dan bil khusus masyarakat Bogor tidak melupakan markahnya sebagai bagian dari Bumi Pasundan.

Pada gapura tersebut, tersemat tulisan Lawang Surya Kencana, Kampung Tengah - Buitenzorg, Dayeuh Bogor yang berarti pintu masuk atau gerbang Surya Kencana.

 

Jalan Surya Kencana, Bogor

Photo :
  • siap.viva.co.id

 

Adalah bangunan Vihara Dhanagun, salah satu bangunan bersejarah yang berada di areal itu saat kali pertama kita menjelajah keindahan Jalan Surya Kencana.

Dengan kacamata yang menempel di atas hidung lelaki tua itu, Ayung selaku pengurus vihara bersejarah tersebut mendaraskan dengan fasih terkait salah satu suku Tiongkok yang sedikit memberikan pengaruh terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

“Jadi, di Tiongkok Selatan ada satu nama provinsi, Fujian. Nah, Hokkian itu adalah penduduk sana. Pada zaman dulu, banyak juga perjuangan yang dilakukan suku Hokkian bersama pribumi melawan penindasan yang dilakukan kolonial Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier,” ungkap Ayung.

Menurut pemaparannya yang didapat dari cerita turun-menurun adalah waktu zaman dulu, para pedagang dari Belanda dan Tiongkok datang ke tanah tersebut sehingga terjadi suatu persaingan yang kemudian pecah perang pada tahun 1740. Ketika itu, kata Ayung, para pedagang Belanda didukung penuh pemerintah VOC. 

“Dan untuk mengamankan perdagangan tersebut, VOC mendirikan kampung-kampung etnis agar bisa diawasi. Mereka mendirikan Chinese Town dan Kampung Arab,” katanya.

Pada 9 Oktober 1740 terjadilah peperangan yang disebut juga dengan Geger Pecinan. Peristiwa berdarah itu, setidaknya antara 5.000 sampai 10.000 warga Tionghoa dibantai dan ditahan di Stadhuis (Museum Jakarta). Dari peristiwa itulah, kemudian beberapa masyarakat Tionghoa beralih ke Buitenzorg (sekarang Bogor) guna bertahan hidup.

Dengan memanfaatkan lahan yang kosong, yang ketika itu masih hutan belantara, mereka mendirikan sebuah bangunan yang menjadi ciri khas dari etnis tersebut. Nama bangunan itu adalah Hok Tek Bio yang sekarang berubah menjadi Vihara Dhanagun.

Menurut penjelasan Ayung yang sudah 11 tahun menjadi pengurus di sana, setelah mengungsi dari Batavia, lalu mereka (Tionghoa) mendirikan Hok Tek Bio (kelenteng) pada tahun 1746 Masehi.

Perekonomian dan kesejahteraan etnis Tionghoa pun perlahan membaik. Dalam hal ini, katanya, tentu ada peranan masyarakat lokal yang begitu ramah menerima kehadiran mereka.

Generasi pertama Tionghoa, kata Ayung, sangat menjaga hubungan baik dengan masyarakat asli sehingga dari situlah asimilasi budaya bahkan kawin silang antara Tionghoa dengan masyarakat lokal marak terjadi.

"Kalau masalah budaya, melebur menjadi satu. Perkawinan budaya dan juga pernikahan antara Tionghoa dengan masyarakat lokal. Dan untuk masalah agama, dari dulu tidak ada masalah. Kenyataan, tetap rukun hingga tua," katanya.

Selain membaur dalam kerukunan, orang-orang Tionghoa yang pada dasarnya memang untuk berdagang, lambat laun memberdayakan masyarakat sekitar. Dengan mengandalkan tenaga masyarakat lokal, orang-orang Tionghoa kemudian merekrut mereka sebagai pekerja.

"Keakraban semakin erat ketika masyarakat juga diajak untuk bekerja. Itulah juga yang menyebabkan etnis Tionghoa semakin nyaman berada di Bogor. Sekarang, bisa kamu lihat di jalan ini. Begitu damai dengan keanekaragaman yang ada," tandasnya.