Kemenkominfo Ingatkan Pentingnya Bijak Bermedia Sosial: Saring Sebelum Sharing
- Istimewa
Siap – Penggunaan media sosial kini dianggap lebih emansipatif dan egaliter dalam menyuarakan pandangan langsung secara terbuka. Namun demikian, Kemenkominfo menilai hal itu perlu disikapi secara bijak untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya.
Kondisi tersebut mengemuka saat webinar literasi ditjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang berlangsung pada Jumat, 26 Januari 2024.
Webinar itu menyorot tema 'Media Sosial sebagai Budaya Baru Masyarakat'.
Hadir sebagai narasumber Wakil Ketua DPR RI Bidang Korpolkam, Lodewijk F Paulus, Praktisi Literasi Digital Mochamad Hadiyana dan Akademisi Dedi Darwis.
Lodewijk menuturkan, media sosial perlu digunakan dengan bijak di era keterbukaan dengan tidak mengubah budaya Indonesia yang toleran dan ramah.
"Kita Indonesia terkenal dengan orang yang toleran ramah. Tapi jangan gara-gara keterbukaan ini kita berinteraksi dalam media sosial, lalu kearifan lokal yang selama ini tertanam kepada kita menjadi hilang," ujar mantan Pangdam I Bukit Barisan itu.
Dalam paparannya bersama Kemenkominfo, Lodewijk menjabarkan, perubahan sosial pada masyarakat modern atau global pada umumnya lebih cepat terjadi dibandingkan masyarakat yang rasional, yaitu masyarakat heterogen yang memiliki sikap lebih terbuka kepada hal-hal yang baru.
"Kebudayaan masyarakat Indonesia yang sudah tertanam sejak dahulu bisa saja luntur akibat dampak globalisasi yang terus menerus berlangsung itu," tutur Sekjen Partai Golkar ini.
Globalisasi sebagai sebuah keniscayaan bisa dihadapi dengan membentengi diri mempertahankan kearifan lokal dan memahami dampak negatif yang secara tidak langsung mempengaruhi karakter.
"Karakter itu dari mindset, dari pikiran, akhirnya menjadi tindakan. Lalu tindakan menjadi kebiasaan. Kebiasan itu yang membentuk karakter kita," jelasnya.
Media sosial juga memberi dampak negatif yang dinilai dapat menurunkan kemampuan sosial, menyebarnya cyber bullying dan mengubah pandangan body image seseorang.
Gambar penampilan yang diidealkan di media sosial, cenderung mengalami citra tubuh negatif, membanding-bandingkan sehingga bisa menimbulkan sejumlah gangguan psikologi.
"Paling penting adalah menjaga privasi kita. Terbukanya data pribadi kita sekarang bisa bocor ke mana-mana," tambahnya.
Beberapa kondisi pelanggaran privasi marak dijumpai akibat terbukanya media sosial seperti kebocoran data, cyber-stalking, mengambil dan mengunggah foto ataupun video tanpa izin, serta mengabaikan hak cipta.
Berikutnya muncul fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yakni adanya kecemasan ketika kita tertinggal berita atau tren atau sesuatu yang baru dan viral.
Namun juga bagi Lodewijk, sebagai sebuah budaya baru, hadirnya media sosial ibarat pedang bermata dua.
"Di satu sisi ada manfaat positif yang kita rasakan. Kecepatan komunikasi, mengembangkan hubungan dan jaringan sosial, membuka kesadaran informasi terbaru dan isu-isu penting," lanjut Lodewijk.
Media sosial juga menjadi wadah untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan kreativitas.
"Saya berharap kita dapat menjadi agen untuk memberikan sosialisasi tentang etika bermedia sosial. Mulailah dari lingkungan diri sendiri," tegas Lodewijk.
Menguatkan penyataan Lodewijk F Paulus, Praktisi Literasi Digital Mochamad Hadiyana membeberkan risiko hadirnya ekosistem teknologi.
Ekosistem teknologi itu di antaranya adalah internet of things, teknologi seluler generasi atau 5G, cloud computing, big data analytic dan terbaru adalah artificial intelligence (AI).
"Digitaltisasi ini menyebabkan penggunaan teknologi digital data dan interkoneksinya, mengubah aktivitas yang ada saat ini ataupun memunculkan aktivitas-aktivitas baru," beber Hadiyana.
Hadiyana menuturkan, digitalisasi ini mentransformasi budaya kita.
"Dalam belanja misalnya kita bisa melakukan pembelian suatu barang dari jarak dengan menggunakan pembayaran yang cashless, juga dengan cara belajar kita," urainya.
Ia menyebut saat ini kita memasuki revolusi industri "Kita dibawa memasuki peradaban baru yang disebut masyarakat Society 5.0 atau Super Smart Society."
"Media sosial telah mengubah norma-norma nilai dan cara masyarakat berperilaku dalam kehidupan sehari-hari seperti etika moral dan budaya, cara berpikir bersikap dan bertindak," jelasnya lagi.
Ia menambahkan media sosial juga dapat memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik terutama dalam konteks isu-isu sosial dan politik.
"Penggunaan medsos yang bijak dan bertanggung jawab itu diperlukan untuk memberikan dampak positif dalam masyarakat seperti meningkatkan konektivitas informasi dan partisipasi," tegasnya.
Hadiyana mengajak agar terus mempromosikan konten positif yang edukatif dan dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Dalam pandangan akademisi Dedi Darwis, kadang banyak sekali peluang dari sosial media ini digunakan sebagai lahan pekerjaan.
Karena itu ia juga menyarakankan untuk membagikan konten yang positif, inspiratif dan mendukung nilai-nilai sosial yang baik.
Dedi juga menyampaikan agar menghormati perbedaan dan menghindari perilaku yang merugikan, saring sebelum sharing.