Rantai Abadi Konflik: Memahami Geopolitik Dunia dalam Lensa Filosofi dan Spiritualitas
- Istimewa
Siap –Dalam panorama geopolitik abad 21, konflik berdarah merebak di Afganistan, Irak, Amerika Serikat, Suriah, Sudan, Ukraina, Russia, Israel, Palestina, dan Indonesia.
Agama digunakan sebagai alat pembenaran untuk kekerasan dan nafsu berkuasa yang busuk, merajalela lewat roket, bom, dan peluru, menelan nyawa dan meruntuhkan harta benda.
Hubungan antar negara makin paradoksal, dengan kerja sama internasional semakin erat, namun perang, konflik, dan kekerasan semakin rumit.
Dalam sorotan filosofi Nietzsche, keberulangan yang sama secara abadi mewarnai peradaban, di mana perang dan perdamaian menjadi roh kehidupan.
Teori transformasi kesadaran mengemuka sebagai kunci pemahaman konflik, menyoroti sempitnya kesadaran manusia yang memicu perbedaan ilusif, menghantarkan pada kesadaran distingtif-dualistik.
Ini menjadi akar kebencian dan penderitaan, di mana kelompok lain dianggap layak direndahkan bahkan dimusnahkan.
Agama kematian ikut terlibat dalam beragam konflik, merusak kehidupan dan meruntuhkan budaya.
Tantangan bagi Indonesia adalah melepaskan agama kematian, meningkatkan kesadaran, dan belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain.
Filsafat geopolitik dan spiritualitas geopolitik menawarkan sudut pandang mendalam dan kerangka analisis untuk mengurai konflik global, membuka pintu menuju perdamaian dunia dan kemakmuran.
Mengintip ke dalam dunia yang terkoyak oleh konflik berdarah, nyawa yang hilang, dan harta benda yang hancur, kita menyadari paradoks hubungan antar negara di abad 21.
Meskipun kerja sama internasional semakin erat, kompleksitas perang, konflik, dan kekerasan semakin meruncing.
Konsep perang dan perdamaian sebagai roh peradaban, sebagaimana diutarakan oleh Nietzsche, menghadirkan pertanyaan yang mengguncang: tirani yang lahir dan hancur, bangkit dan runtuh.
Rantai perang dan perdamaian, melingkar abadi, menimbulkan refleksi mendalam tentang sifat manusia dan dinamika kekuasaan.
Kehendak untuk berkuasa, sebuah entitas abadi menurut Nietzsche, tersembunyi di balik setiap tindakan manusia.
Bahkan dalam tindakan yang paling luhur sekalipun, kehendak untuk berkuasa senantiasa merayap.
Pemikiran ini juga berpadu dengan pandangan para pemikir Stoa dan filsafat Asia yang menyoroti kehendak manusia untuk memisahkan diri dari lingkungan sekitar, memunculkan perbedaan ilusif yang menjadi akar kebencian dan penderitaan.
Dalam melibatkan agama kematian, konflik global membawa dampak yang mendalam.
Agama yang membunuh kehidupan berwarna dan menghancurkan budaya leluhur, merusak ketenangan bersama, dan menindas perempuan, menjadi sumber penderitaan dan konflik.
Bagi Indonesia, refleksi atas pengalaman masa lalu dan pembelajaran dari bangsa-bangsa lain adalah kunci untuk mengganti haluan, melepaskan agama kematian, dan membangun tingkat kesadaran baru sebagai sebuah bangsa.
Filsafat geopolitik memberikan sudut pandang mendalam terhadap politik global, namun, pendekatan spiritualitas geopolitik, melalui teori transformasi kesadaran dan tipologi agama, menawarkan tidak hanya pemahaman, tetapi juga jalan keluar dari siklus konflik global.
Tanpa refleksi filosofis dan penerapan spiritualitas dalam ranah geopolitik global, perdamaian dunia dan kemakmuran tetap menjadi impian yang sulit dicapai.