Mengenang Jejak Pejuang asal Papua, Frans Kaisiepo

Pejuang Papua Frans Kaisiepo
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Mungkin kalau bukan karena pecahan uang Rp 10 ribu, banyak yang tak mengenal sosok pahlawan Frans Kaisiepo. Padahal, jika kilas balik ke belakang, pria kelahiran Biak, Papua, 10 Oktober 1921 ini sangat berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Bumi Cendrawasih.

Frans Kaisiepo memang lahir di pedalaman, tapi berkat ayahnya yang seorang kepala suku Biak Numfor dan pandai besi, ia dapat mengenyam pendidikan kolonial.

Karena hal itu juga Frans sangat dihormati oleh masyarakat Papua. Frans adalah salah satu elite terdidik Papua angkatan pertama.

Berkat Jasa Seorang Jawa

Jiwa nasionalisnya terbentuk setelah ia bersama 149 putera Papua mengikuti kursus kilat Pamong Praja di Kota Nica yang kini bernama Kampung Harapan tahun 1945.

Di sana ia bertemu Soegoro Atmoprasodjo, tokoh kelahiran Yogyakarta, bekas aktivis Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara.

Soegoro merupakan salah satu pengajar sekaligus direktur asrama. Meski bekerja untuk Belanda, ia memanfaatkan jabatannya untuk menanamkan jiwa kebangsaan di Papua.

Ia juga berusaha meyakinkan anak didiknya termasuk Frans Kaiseipo jika Papua adalah bagian dari Indonesia.

Dalam risalah yang ditulis Kaiseipo menyebutkan, kalau Soegoro adalah guru yang mengajarkan anak didiknya untuk menjadi pemimpin di Papua. “Kita dididik beliau untuk mengajarkan anak-anak kita, supaya tidak menjadi pegawai Irian,” tulis Frans Kaiseipo.

Aktif Dalam Gerakan Perjuangan

Perkenalannya dengan Soegoro membawa Frans ke ranah politik. Frans mulai aktif dalam berbagai gerakan pembebasan Papua dari tangan Belanda.

Di Biak pada tanggal 31 Agustus 1945 ia bersama rekan-rekannya mengadakan upacara bendera lengkap dengan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Satu tahun kemudian, tepatnya pada 10 Juli 1946, Frans mendirikan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Itu merupakan cara Frans untuk menjaga keindonesiaan, kendatipun menjabat sebagai kepala Distrik Warsa, Biak Utara. Pada 18 Juli 1946 ia diutus dalam Konferensi Malino.

Dalam konferensi tersebut, Frans Kaiseipo adalah satu-satunya perwakilan Papua. Namun, alih-alih mewakili kepentingan Belanda, Frans malah mendukung wilayah Papua bersatu dengan Sulawesi Utara sebagai bagian dari Indonesia.

Keputusan itu diambil setelah sebelumnya ia berkonsultasi dengan gurunya, Soegoro yang ditahan di Jayapura.

Tak suka Sebutan Papua

Dalam konferensi Malino, ada satu lagi yang Frans perjuangkan. Pergantian istilah Papua dengan Irian. Menurutnya, Papua mengandung kesan merendahkan orang-orang di tanah kelahirannya.

Papua sendiri berasal dari kata pua-pua yang diucapkan pendatang asal Maluku. Pua-pua berarti keriting.

Sementara, Irian mengandung arti yang cukup filosofis. Irian diambil dari bahasa Biak, irarian yang artinya terpapar sinar matahari atau berjemur.

Di Biak, para pelaut selalu mengharapkan panas matahari untuk bisa melenyapkan kabut. Kata Irian kemudian dipolitisir oleh sebagian tokoh nasionalis Indonesia sebagai singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti-Nedherland.

Pada malam harinya, Frans bepidato tentang kata Irian selama beberapa menit di radio Makassar. Sayangnya, ia tak mendapat dukungan dari Belanja, begitupun wakil-wakil Indonesia.

Bagi pemerintahan Belanda, ucapan Frans tentang Irian tak lebih dari rasa fanatisme terhadap Biak. Karena ulahnya itu, tak ada lagi perwakilan Papua pada konferensi-konferensi berikutnya.

Ogah Didikte Belanda

Tahun 1948, Frans memimpin pemberontakan di Biak. Namun, Belanda masih memaafkannya.

Kemudian pada tahun 1949, ia ditunjuk kembali untuk mewakili Papua dalam Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den Haag. Namun, ia menolak karena terlalu didikte oleh pemerintahan Belanda.

Kesetiaan Frans terhadap Indonesia membuat kesabaran pemerintah Belanda habis. Frans dihukum selama 5 tahun dengan cara disekolahkan lagi di Sekolah Pendidikan Pamong Praja atau Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA) selama 5 tahun.

Ia juga ditugaskan di distrik-distrik terpencil seperti Manokwari, Ransiki, Sorong, Ayumi-Taminabuan, dan Mimika antara 1954 dan 1961.

Saat menjadi kepala distrik Mimika tahun 1961, ia kembali mendirikan partai bernama Irian Sebagian Indonesia (ISI). Partai tersebut didirikan Frans untuk menyatukan Irian dengan Indonesia. Melalui partai itu juga ia membantu pendaratan sukarelawan Indonesia saat masa Trikora.

Perjuangannya Terbayar

Perjuangan Frans untuk menyatukan Indonesia tak sia-sia. Pada 15 Agustus 1962 melalui Perjanjian New York, Papua resmi menjadi milik Indonesia.

Kemudian pada tahun 1964 ia ditunjuk menjadi gubernur menggantikan Eliezer Jan Bonay, tokoh antikolonial yang juga menentang tindakan kesewenang-wenangan pemerintah Indonesia atas masyarakat Papua.

Selama masa jabatannya sebagai gubernur, ia sempat membawa misi yakni memenagkan Indonesia dalam penentuan pendapat rakyat (Papera).

Ia juga ditunjuk sebagai ketua Pergerakan Musyawarah Besar Rakyat Irian Barat sebagai langkah menyatukan Irian sebelum pelaksanaan Pepera.

Jabatan gubernur dipegang Frans sampai tahun 1973. Setelah itu, ia ditarik ke Jakarta untuk menjadi pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri.

Pada saat yang sama, ia juga dipilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung hingga akhirnya meninggal di tahun 10 April 1979. Ia dimakamkan di tanah kelahirannya di Biak di Taman Makam Pahlawan Cenderawasih.