Suparna Sastra Diredja, Tokoh Buruh Kiri yang Rindu Indonesia

Suparna Sastra Diredja
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Rabu, 2 Juni 1915, Suparna Sastra Diredja lahir dari pasangan Abdul Sastra Direja dan Nyi Emi Resmi di Garut, Jawa Barat. Sejak kecil hingga dewasa, ia tak pernah mengenyam pendidikan militer.

Suparna hanya belajar di Europeesche Lagere School (ELS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemene Middelbare School (AMS).

Meski demikian, bukan berarti Suparna tak bisa berjuang melawan penjajah. Ia adalah tokoh yang disegani dan cukup ditakuti oleh pemerintah Belanda.

Ia bahkan pernah ditahan selama 10 bulan di Batavia karena menerbitkan artikel yang dianggap menghasut masyarakat di majalah Indonesia Muda.

Sejak kecil, Suparna memang menempuh jalan sebagai aktivis. Ia pertama kali bergabung dengan organisasi nasionalis bernama Indonesia Muda.

Setelah sekian lama bergabung, ia terpilih menjadi anggota dewan pimpinan organisasi dan bertanggung jawab sebagai redaktur di majalah Indonesia Muda.

Organisasi ini adalah gabungan dari Jong Java, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, dan Jong Sumatra. Indonesia Muda dibentuk tanggal 31 Desember 1930 dan beranggotakan 2.400 orang di 25 cabang.

Selain Suparna, tokoh yang bergabung di Indonesia Muda seperti Amir Hamzah, Ani Idrus, Abdulrahman Saleh, Mohammad Yamin, Roeslan Abdulgani hingga Saridjah Niung (kelak dikenal sebagai Ibu Sud).

Suparna sering menghadiri rapat politik serta kelas pendidikan politik pada malam hari. Hingga akhirnya ia menjadi anggota partai politik Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).

 

Selain itu, Suparna juga aktif mengajar di sekolah liar di Batavia. Bukan hanya pada masa penjajahan Belanda, ketika Jepang datang ia pun turut bergerak.

Suparna bersama Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni bergabung dengan laskar perjuangan bawah tanah. Gerakan laskar ini cukup cerdik karena berkedok Koperasi Rakyat Indonesia (Korindo).

Pada periode yang sama, Suparna aktif di Badan Penolong Prajurit Pekerja di Jawa Barat. Lembaga ini dibentuk untuk membantu keluarga pekerja Romusha.

Perjuangannya terus berlanjut di berbagai organisasi sampai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.

Setelah Indonesia merdeka, ia bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menjadi awal mengapa Suparna tak lagi kembali ke Indonesia.

Saat itu, ia menjadi anggota Dewan Kostituante, lembaga negara yang menangani konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950.

Ketika Indonesia bergejolak karena Gerakan 30 September, Suparna sedang berkunjung ke Korea Utara dan Tiongkok. Sangat berisiko jika ia kembali ke tanah air, karena saat itu sedang dilakukan pembersihan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI.

Ia kemudian tertahan di Tiongkok selama 12 tahun. Setelah itu, pindah ke Eropa dan mendapat suaka politik dari pemerintah Belanda tahun 1978.

Di sana ia sangat aktif dalam berbagai gerakan sosial. Suparna juga bergabung dengan Partai Komunis di Belanda sejak 1982.

Hingga akhir hayat, ia belum berani kembali ke Indonesia. Maklum saja, pada masa Orde Baru, pemerintah Indonesia memang sangat anti-komunis. Suparna kerap menulis artikel tentang kerinduannya terhadap Indonesia.