Kisah Keberanian Pasukan Gerak Tjepat dan RPKAD saat Pembebasan Irian Barat
- Istimewa
Siap – Diplomasi pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda terkait Irian Jaya buntu. Belanda tak sepenuh hati melepas bumi cendrawasih kembali ke pangkuan pertiwi. Bung Karno geram terhadap sikap Belanda. Ia memilih beranjak dari meja perundingan, kemudian menempuh jalur militer.
Sukarno menggelorakan Operasi Trikora dan membentuk Komando Mandala dengan Mayjen Soeharto sebagai komandannya.
Guna mengukur medan serta menakar kekuatan lawan, bermacam strategi direncanakan. Salah satunya dengan melakukan Operasi Banteng Ketaton, 16 April, 1962.
Sebelum malam pemberangkatan, Mayjen Soeharto sempat membakar semangat para prajurit. "Anak-anak, jangan lupa Sumpah Prajurit dan Sapta Marga," kata Mayjen Soeharto di Ambon.
Berdasarkan amanat yang ditandatangani Panglima Mandala pada Rabu, 11 April 1962, telah dikeluarkan Perintah Operasi penerjunan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Baik PGT maupun RPKAD, berada di bawah satu komando untuk penerjunan pada 16 April di sebuah dropping zone di wilayah Fak-Fak dan Kaimana. Penerjunan tersebut merupakan infiltrasi udara pertama yang dilakukan pasukan elite Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman kolonial Belanda.
Berdasarkan buku 52 Tahun Infiltrasi PGT di Irian Barat, saat Operasi Banteng Ketaton dilaksanakan menggunakan enak pesawat Dakota.
Pada hari yang sama, Senin, 16 April 1962, diterbangkan juga pembom B-25 Mitchel dan dua pemburu P-51 Mustang sebagai pengawal. "Penerbangan tersebut dilakukan untuk memantau keamanan jalur penerbangan sekaligus penipuan (deception flight)."
Ihwal demikian membuat Belanda terperanjat. Mereka tidak menduga Indonesia mampu melakukan infiltrasi melalui udara. Sesuai perhitungan mereka, rimbanya Irian Barat sangat tidak memungkinkan dijadikan pangkalan gerilya.
Penerjunan Pertama
Dalam operasi penerjunan pertama ke wilayah Irian Barat, para penerjun diperintahkan untuk menyusup ke daerah lawan dan sebisa mungkin menghindari kontak senjata. Penyusupan itu guna mengacaukan situasi dari dalam, pun menarik perhatian pasukan musuh agar fokus ke wilayah daratan sehingga pasukan lain dapat mendarat di pinggir pantai dengan aman.
Selain itu, para penerjun pertama juga mendapat tugas merusak radar di Kaimana. Adapun untuk mendukung penyamaran selama di hutan, para prajurit hanya mengenakan overall warna hijau tanpa pangkat. "Setelah kejadian-kejadian itu, militer Belanda mulai guncang dan tidak yakin lagi atas pertahanan udaranya, karena dengan mudah bisa ditembus oleh Dakota."
Rabu, 18 April 1962, Kolonel Udara Wiriadinata didampingi SMU Picaulima dan KU I Atjim Sunahju, dipanggil Men/Pangau Laksamana Udara Omar Dhani. Dalam pertemuan tersebut, Laksamana Udara Omar Dhani memberitahukan bahwa Picaulima bersama 18 anggota PGT akan diterjunkan di Irian Barat. Keesokan harinya ke-19 anggota PGT ini sudah diterbangkan ke Ambon menggunakan Hercules.
Di sana mereka diterima Wakil Panglima Mandala Komodor Udara Leo Wattimena. Beberapa hari kemudian, tepatnya 25 April, ke-19 anggota PGT ini diterbangkan ke Lanud Amahai, dan di sana sudah ada anggota RPKAD.
Sekitar pukul 10.00 waktu setempat, flight C-47 Dakota yang terbang dari Kupang mendarat di Lanud Pattimura. Pesawat tersebut berangkat dari Lanud Halim sehari sebelumnya.
Tak lama kemudian digelar briefing dipimpin Panglima Mandala Mayjen Soeharto didampingi Komodor Leo Wattimena. Briefing berlangsung di Gedung Teknik Umum (gedung diesel) Lanud Pattimura. Dalam pertemuan tersebut dihadiri pilot Dakota yang akan mendapat tugas menerjunkan pasukan PGT dan RPKAD di Fak-Fak dan Kaimana.
Dalam briefing siang itu dijelaskan bahwa tugas penerbang adalah menerjunkan pasukan ke daerah yang sudah ditentukan. Beberapa penerbang terlihat kaget, namun cepat menyesuaikan diri.
Pasukan yang akan diterjunkan di Kaimana diminta langsung menuju ke pesawat untuk diterbangkan ke Langgur dan istirahat sampai waktu yang ditentukan. Sebelum lepas landas dari Pattimura, Soeharto dan Leo memberikan ucapan selamat kepada pasukan yang dipimpin Lettu Inf Heru Sisnodo dari RPKAD.
Operasi dibagi atas dua penerbangan yang lepas landas dari Lanud Amahai, dengan penahapan Operasi Banteng I (Banteng Putih) menerjunkan pasukan di Fak-Fak, dan Operasi Banteng II (Banteng Merah) di Kaimana.
Penerjunan di Fak-Fak dipimpin Letda Inf Agus Hernoto, sedangkan di Kaimana dipimpin Lettu Heru Sisnodo. Bersama mereka juga diikutkan anggota dari Zeni Angkatan Darat, yang akan bertugas merusak fasilitas radar Belanda di Kaimana.
Operasi Banteng I
Sambil menunggu perintah terbang, pasukan berkumpul di bawah sayap pesawat. Mereka berusaha tidur sedapatnya sambil mengumpulkan tenaga. Sebanyak tiga pesawat Dakota yang dipimpin Komandan Skadron 2 Transport Mayor Udara YE Nayoan, disiapkan untuk diterbangkan pasukan ke Fak-Fak.
Sesuai rencana, pesawat tersebut bakal menerjunkan satu tim gabungan yang terdiri dari 10 prajurit PGT, 30 prajurit RPKAD ditambah dua orang Zeni. Tim itu dipimpin Letda Agus Hernoto.
Sewaktu lepas landas dari Laha, hujan turun deras. April hingga Juni memang musimnya penghujan di kawasan Indonesia Timur. Dropping dilaksanakan di tengah temaramnya subuh di sebelah utara Fak-Fak.
Ketika formasi pesawat dalam perjalanan pulang, terlihat di laut sebuah kapal yang lampunya berkelap-kelip.
Setelah Dakota pada posisi sejajar dengan kapal, diketahui dengan jelas bahwa ternyata kapal dimaksud milik angkatan laut kolonial Belanda. Lampu yang tampak ternyata tak lain tembakan dari kapal ke Dakota. Formasi Dakota langsung berbelok ke kanan dengan arah menjauh.
Setelah konsolidasi di pagi hari itu, rombongan PU II Pardjo yang diterjunkan di Fak-Fak ternyata selamat dan satu anggota dinyatakan hilang.
Beberapa hari kemudian datang Marinir Belanda sehingga terjadi kontak senjata. Sesuai instruksi sebelumnya, bila kekuatan tidak seimbang segera masuk hutan.
Setelah keadaan tenang mereka menyusup kembali ke kampung tersebut dan ternyata sudah kosong. Rumah-rumah penduduk dibakar Belanda dan penduduknya mengungsi entah ke mana.
Sementara, pasukan yang diterjunkan di Fak-Fak, sekitar satu bulan bertahan di sekitar kampung Urere, kemudian mendapat perintah meninggalkan kampung.
Dalam kondisi sudah lemah karena kekurangan makanan, pasukan berhenti sejenak di kebun pala untuk istirahat. Kemudian secara tiba-tiba diserang pasukan Belanda dari arah seberang sungai.
Dalam kontak senjata, lima anggota gugur yaitu KU I Adim Sunahyu, PU I Suwito, PU I Lestari, dua orang dari RPKAD yakni Sukani dan seorang lagi tak diketahui namanya. Komandan Peleton Letda Agus Hernoto tertembak di kedua kakinya dan ditawan Belanda.
Sedangkan PU II Pardjo, kaki kanannya tertembak. Namun, dengan sisa tenaganya berusah menyelinap.
Setelah Belanda pergi, Pardjo berusaha merangkak menuju tempat kelima temannya yang gugur. Dia hanya sanggup berdoa dan tetap bertahan hidup di situ sekitar lima hari di antara mayat teman-temannya yang mulai membusuk.
Tak lama kemudian, beberapa orang Papua lewat. Mungkin kasihan melihat Pardjo yang terluka, ia digotong dan dibawa ke kampung terdekat. Setelah beberapa hari dirawat, digotong lagi bersama-sama menyusuri pantai menuju rumah sakit angkatan laut Belanda di Fak-Fak.
Di sini ia memperoleh perawatan medis sebelum ditahan. Pada saat penahanan itu ia mendengar melalui radio Belanda bahwa telah terjadi gencatan senjata.
Setelah menjalani interogasi, ia dikirim dengan kapal laut ke Biak dan dari sana dibawa ke penjara di Pulau Wundi.
Di sinilah akhirnya ia bertemu pasukan Resimen Pelopor, Kapten Kartawi dengan pasukannya, pasukan Peltu Nana, Serma Boy Tomas, Kapten Udara Djalaludin, Letnan Udara I Sukandar, dan kru pesawat Dakota T-440.
Operasi Banteng II
Penerjunan di Kaimana yang pertama terdiri dari tiga pesawat Dakota yang diterbangkan oleh Kapten Udara Santoso dengan kopilot LU II Siboen, LU I Suhardjo dengan LU II M Diran, dan LU I Nurman Munaf dengan LU I Suwarta. Penerbangan tersebut dipimpin Kapten Santoso.
Operasi ini menerjunkan satu tim gabungan PGT dan RPKAD (23 RPKAD, 9 PGT, dan satu perwira Zeni) di bawah pimpinan Letda Heru Sisnodo dan Letda Zipur Moertedjo sebagai pimpinan penghancur radar di Kaimana.
Setelah istirahat satu malam di Langgur, keesokan harinya 26 April 1962 pukul 04.45 waktu setempat, tiga Dakota lepas landas menuju sasaran di daerah Kaimana dengan terbang rendah dalam keadaan hujan.
Pada saat fajar menyingsing sekitar pukul 05.30, pesawat mendekati daerah sasaran sekitar 10 kilometer dari kota Kaimana yang terletak pada suatu lembah. Pertama-tama diterjunkan adalah logistik, baru kemudian satu per satu pasukan keluar dan mendarat di Kampung Urere.
KU II Godipun masih sempat melihat buih-buih berkejaran di pantai Kaimana sebelum bel tanda persiapan untuk terjun, memecah kesunyian subuh itu. Karena masih gelap, umumnya tidak bisa menebak di mana akan jatuh. Yang terlihat hanya gundukkan hitam yang ternyata adalah hutan belantara dengan pepohonan menjulang tinggi bagaikan raksasa. Sampai di sini, malapetaka langsung menimpa mereka.
Hampir semuanya mendarat di puncak-puncak pohon yang tingginya sekitar 50 m. Situasi ini sedikit menguntungkan bagi yang membawa beban ekstra berat, seperti pembawa radio. Karena jika langsung mendarat di tanah, kemungkinan cedera sangat tinggi. Dropping zone ini mereka ketahui sebagai wilayah Kampung Urere yang alias Pasir Putih. Karena jatuh di atas pohon, banyak di antara anggota mengalami cedera.
Seperti KU I Sahudi, payungnya berhenti di antara dua pohon sehingga ia tergantung seperti buah mangga. Tidak mau hilang akal, Sahudi berusaha mengulur tali yang dibawa agar bisa turun. Rupanya tali yang dibawa sepanjang 30 meter itu tidak menyentuh permukaan tanah.
Dia pun memutuskan menjatuhkan ransel perbekalan agar bisa mengira-ngira ketinggiannya. Cukup lama sebelum bunyi benda jatuh di tanah bisa didengarnya. "Pohonnya tinggi sekali," kenang Sahudi.
Hari sudah mulai siang dan badan pun mulai letih karena tidak makan. Tidak mau mati konyol di atas pohon, Sahudi mulai mengayunkan payung agar bisa meraih dahan terdekat.
Berkali-kali ia coba. Namun, sebanyak itu pula ia gagal. Tanpa disadarinya, karena terus bergoyang, payungnya mulai merosot dari pohon. Sampai akhirnya lepas dan Sahudi pun terpental ke pohon sebelum terempas di tanah dengan punggung jatuh lebih dulu.
Ia merasakan sakit tak berperi di punggung. Membuatnya nyaris tidak bisa bergerak. Baru kemudian ia sadari bahwa tulang punggungnya patah.
Tak jauh dari tempatnya jatuh, ia melihat rekannya KU I J. Dompas yang terluka dan Pratu Margono dari RPKAD mengalami patah kaki. Mereka bermalam di situ selama beberapa hari, dan mendapat bantuan dari penduduk setempat.
Terendus Musuh
Siang itu, Belanda mulai mencium kehadiran pasukan gabungan. Pasalnya, setelah pesawat Belanda yang melintas, pilotnya melihat parasut bertaburan di puncak-puncak pohon. Karena itu, Belanda pun mengirim sejumlah polisi yang umumnya direkrut dari putra asli Irian untuk mengecek kebenarannya. Untunglah ada penduduk berbaik hati mengabarkan bahwa ada polisi datang.
"Tuan besar datang, tuan besar datang," kata mereka.
Malam itu juga Sahudi dan kedua rekannya meninggalkan kampung kecil tersebut. Karena sedang sakit, Margono hanya bisa merangkak, sementara Sahudi tertatih-tatih.
Seperti yang lainnya, Godipun juga tersangkut di sebuah dahan. Malang baginya karena ransel peluru dan granatnya lolos ke bawah. Menggunakan tali, Godipun mencoba turun ke bawah.
Namun, dahan tempatnya bergantung tiba-tiba patah, sehingga ia jatuh di pinggir kali berlumpur. Untung lumpurnya cukup dalam, sehingga menjadi seperti matras. Hampir seluruh kakinya tertanam di lumpur.
Setelah berhasil keluar, ia mendengar suara pluit di ketinggian, yang ketika dilihatnya berasal dari Sarjono. Temannya ini tidak bisa turun karena sudah lemas. Berkat bantuan Godipun, Sarjono turun. Dia kembali naik karena ransel dan perbekalan temannya masih tersangkut di ranting.
Pada hari ketiga setelah bertemu teman-teman yang lain, yaitu Sahudi, KU I Fortianus, KU I Dompas, KU II Jhon Saleky, KU II Aipassa, dan tiga orang lagi yang namanya tidak diketahui.
Komandan tim Lettu Heru Sisnodo memutuskan, KU I Sahudi dan Pratu Margono yang tengah sakit parah ditinggal di tempat karena akan mengganggu gerakan pasukan. Tak lama kemudian, pasukan tersebut mengalami kontak senjata dengan Belanda sewaktu memotong sagu.
Dalam kontak itu, pasukan PGT tercerai-berai karena kekuatan tidak seimbang, disamping fisik mereka sudah lemah. Setelah tembakan berhenti, Heru memerintahkan Godipun membantu rekan-rekan yang lain.
"Saya pergi dan menemukan bekas tempat mereka memasak sagu," ujar Godipun.
Besoknya Belanda datang lagi, dan kembali terjadi kontak tembak. Namun, tidak ada yang terluka.
Dalam kontak tembak itu, KU I Fortianus tertembak di dada dan tewas di tempat. Sementara Pratu Suyono dari RPKAD berhasil meloloskan diri dan akhirnya bertemu dua orang yang ditinggal karena cedera yaitu KU I Sahudi dan Pratu Margono.
Pada 18 Juli, dua orang yang cedera ini ditambah Pratu Suyono tertangkap polisi Belanda di bawah pimpinan Letnan Pol Ayal (asal Ambon) dan wakilnya Torar (asal Manado).
Pada suatu hari, Godipun disuruh menebang pohon pisang yang agak jauh dari induk pasukan. Begitu kembali, ia sudah tidak menemukan rekan-rekannya, pergi entah ke mana. Dia berusaha menyusul. Sial baginya, di perjalanan ia disergap Belanda.
"Angkat tangan, lempar senjata!" Salah seorang berteriak ke arahnya. Godipun langsung tiarap dan merayap menjauh. Karena tidak kunjung keluar, tembakan gencar pun diarahkan ke persembunyiannya.
"Saya betul-betul disiram," kenang Godipun. Sebuah timah panas akhirnya mendarat di pundaknya. Sakit sekali, sampai-sampai rasanya mau nangis. Pundak kirinya hancur dan tulang belikatnya mencelat keluar. Nyaris sudah pasrah karena kondisinya cukup parah, Godipun masih berusaha untuk tidak tertangkap. Dia bersembunyi di balik sebuah pohon besar.
Belanda tidak berhasil menemukannya sampai akhirnya pergi. Tak lama kemudian, Godipun berusaha keluar. Rasanya, tangan kirinya sudah tidak ada, kalaupun masih ada sudah tidak bisa digerakkan. Sambil menahan sakit, Godipun terus berjalan sampai menemukan teman-temannya. Ia lalu mendapat pengobatan dari orang kesehatan RPKAD Komaruddin.
Besok paginya Heru menawarkan Godipun untuk menyerahkan diri. Dipikirnya dengan menyerahkan diri, anak buahnya ini akan mendapatkan pengobatan dari dokter Belanda. "Komandan, kalau saya mau menyerah sudah dari tadi, sumpah prajurit tidak boleh menyerah," jawab Godipun tegas dengan nada tersinggung.
Penangkapan ketiga orang ini akibat ulah penduduk yang kelihatannya cukup baik, namun sebenarnya kaki tangan Belanda. Pasukan yang dapat lolos setelah kontak senjata dengan Belanda kemudian bergerilya dan bertahan dalam alam yang ganas selama tiga bulan.
Pasukan ini dibekali sejumlah mata uang gulden Papua. Cara mendekati sasaran dengan mengikuti jejak pasukan Belanda dan menggunakan penduduk setempat sebagai penunjuk jalan, tetapi apabila terjadi kontak senjata penduduk itu melarikan diri.
Dalam perjalanan terjadi beberapa kali kontak senjata. Yang gugur ditinggalkan dengan diberi tanda sedangkan senjatanya disembunyikan.
Makanan memang sulit didapat, kalau kebetulan menjumpai tanaman rakyat seperti talas atau pisang, terpaksa dimakan dan sebagai gantinya ditinggalkan uang gulden untuk pembayaran. Dalam perjalanan ini mereka bertemu salah seorang anggota Banteng Raiders yang lepas dari induk pasukannya.
Jarak antara kampung Pasir Putih dan Kaimana sekitar 20 km, tetapi ada jalan pintas melalui jalan setapak. Karena itu, usaha Belanda mencegat para gerilyawan dilakukan melalui laut dari Kaimana dan pada tempat-tempat tertentu pasukan diturunkan ke darat untuk mengadakan patroli.
Semakin dekat ke Kaimana semakin sering terjadi kontak senjata. Perkampungan penduduk di sekitar Kaimana telah dijaga ketat pasukan Belanda dan mata-matanya. Kekurangan makanan menyebabkan kondisi fisik pasukan menjadi lemah, gerakan menjadi lamban dan akhirnya upaya pengamanan kurang diperhatikan. Keadaan medan dan perlawanan Belanda sebenarnya tidak berat, yang berat justru sulitnya mendapatkan makanan.
Dalam suatu kontak senjata dengan musuh, Prada Surip bersama tiga temannya terpisah. Ia bersama tiga temannya yaitu Sabaruddin, Ijang Supardi dan Aipasa (PGT) berusaha mendekati sebuah perkampungan. Rupanya kedatangan mereka telah ditunggu Belanda, sehingga terjadi kontak.
Kelompok yang semula empat orang ini terpecah lagi. Akhirnya Prada Surip tinggal sendirian. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran.
Karena kondisi sangat lemah, akhirnya mereka tertangkap. Anggota pasukan lain di bawah pimpinan Heru Sisnodo, sampai terjadinya gencatan senjata terus melakukan gerilya di sekitar Kaimana. Berita gencatan senjata baru mereka terima melalui pamflet yang dijatuhkan dari udara, yang itu pun mereka duga hanya tipu muslihat Belanda.
Letda Czi Moertedjo dengan tiga pengikut menjelang mendekati Kaimana, terjebak oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi kurang makan berhadapan dengan kekuatan Belanda yang lebih besar akhirnya mereka tertangkap.
Sepertinya saat melaksanakan gerilya di sekitar Kaimana, Jhon Saleky bersama Heru Sisnodo bertemu dengan kelompok perlawanan anti-Belanda dipimpin Mayor (Tituler) Lodewijk Mandatjan.
Dalam sejarah perjuangan Trikora, kelompok Mandatjan dikenal sebagai penentang Belanda yang kemudian memilih masuk hutan untuk melaksanakan perang gerilya terhadap Belanda. Karena melihat anggota APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) di tengah hutan, Mandatjan kemudian mengajak mereka bergabung.
Godipun tertangkap tanggal 7 Juni. Saat tertangkap, ia dalam pelarian seorang diri setelah kelompoknya terpecah karena diserang Belanda. Tanpa senjata karena disimpan di dalam hutan setelah bahunya tertembak, Godipun berjalan hingga tiba di sebuah pantai di Kampung Sisir.
Ia pun lupa membawa bungkusan yang isinya kitab suci dan tertinggal di hutan. Di sini jejaknya terendus anjing pelacak Belanda. Beberapa orang penduduk lokal mengejarnya dari belakang sambil mengacungkan golok dan tombak.
Dia mencoba untuk berlari. Namun dicegah oleh sebuah teriakan keras, Berhenti! "Saya balik kanan. Saya pikir akan digorok, tapi rupanya mereka tercekat melihat saya."
Kalung Rosario yang tersembul dari balik bajunya mengagetkan para pemburunya. "Kamu agama apa?" tanya mereka yang dijawab singkat, "Katolik."
Yang bertanya malah tidak percaya dan marah sambil berujar, "Bohong kamu, kamu babi Sukarno, bikin rusak tanah saya. Kamu mau hidup atau mati." Akhirnya Godipun dibawa ke sebuah rumah panggung di pinggir pantai. Di situ ia melihat cukup banyak kuburan yang masih baru. Apakah ada temannya yang dimakamkan di situ? Godipun hanya mengernyitkan dahinya.
Dia ditanya macam-macam, seperti siapa komandannya, di mana dia, di mana teman-teman. Karena memang tersasar, ia tidak bisa memberikan jawaban. Setelah mendapat havermut (oatmeal), minum, dan sebatang rokok, siang itu ia dibawa ke rumah sakit untuk diobati.
Suatu hari di penjara, ia didatangi seorang pastor Belanda berjubah putih yang menawarkan sakramen pengakuan dosa. Ia diajak ke ruangan komandan polisi untuk melaksanakan pengakuan dosa.
"Oleh pastor didoakan supaya Belanda dan Indonesia cepat damai dan saya cepat dipulangkan." Kemudian diketahuinya nama pastor itu van Manen.
Saat kembali ke kamar tahanan, ia melihat di sebuah meja sebuah bungkusan yang ia sangat kenal. "Saya bilang ini punya saya, puji tuhan," ujarnya. Rupanya bungkusan itu berisi kitab Taurat dan Injil.
Setelah di penjara sekian lama, suatu hari mereka dibawa dengan pesawat Dakota ke Biak. Dengan mata ditutup, mereka dituntun ke dalam pesawat yang ternyata di dalamnya sudah banyak wartawan asing. Mencermati penuturan ini, sepertinya peristiwanya berlangsung setelah cease fire.
Di akhir Operasi Banteng Ketaton di Kaimana diketahui bahwa PGT telah kehilangan sejumlah anggotanya. Mereka yang gugur adalah KU I Fortianus dan KU II Gintoro.
Sementara yang terluka tembak adalah KU I Sahudi yang terluka saat terjun dan PU I G. Godipun. Adapun yang gugur di Fak-Fak adalah SMU Picaulima, KU I Atjim Sunahju, KU I Sariin bin Djafar, PU I Lestari, dan PU I Suwito. Dua orang yaitu KU I S. Bomba dan PU I Pardjo hanya mengalami luka ringan.