Ngilunya Tradisi Kikir Gigi Suku Mentawai

Perempuan Mentawai.
Sumber :
  • Istimewa

Siap – Tampil cantik dan menawan merupakan dambaan perempuan. Segala daya upaya pun kerap dilakukan. Begitu pula dengan masyarakat Mentawai. Akan tetapi, bagi mereka cantik bukan hanya untuk penampilan semata. Ada nilai tradisi yang mesti lestari. Salah satunya budaya kerik gigi.

Kerik gigi merupakan bagian dari tradisi turun temurun yang terjaga. Selain cantik, tradisi tersebut penanda bahwa si perempuan telah beranjak dewasa. 

Sakit? Sudah pasti. Tapi itu tak berarti. Bagi mereka, menjaga tradisi harga mati.

Kerik gigi suku Mentawai.

Photo :
  • Istimewa

Pada saat melakukan tradisi tersebut, perempuan Mentawai harus menahan rasa sakit yang sangat dahsyat. Tidak pakai obat bius. Tidak pula sebentar. Ngilu bercampur sakit. Tapi perempuan Mentawai harus kuat. Demi menjaga martabat mereka sebagai generasi Mentawai asli.

Gigi yang dikerik atau diruncingkan tidak hanya satu atau dua saja. Melainkan semua gigi. Alat pengerik juga sederhana. Bisa berupa besi atau kayu yang sudah diasah hingga tajam.

Salah seorang wisatawan lokal Rengga Satria mengaku terkejut. Ia tak menyangka tradisi ‘menyakitkan’ seperti itu masih terjaga di Mentawai. "Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya ketika dikikir," katanya seperti dikutip dari siap.viva.co.id.

Berdasarkan penuturan Aman Laulau selaku Sikerei (ahli pengobatan tradisional) Buttui, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, tradisi tersebut memiliki makna filosofi yang dalam. "Untuk mengendalikan diri dari enam sifat buruk manusia," kata Aman Laulau seperti yang ditirukan Rengga.

Adapun keenam sifat itu lebih dikenal masyarakat Mentawai dengan nama Sad Ripu. Di antaranya adalah Kama (hawa nafsu), Lobha (tamak), Krodha (marah), Mada (mabuk), Matsarya (iri hati), dan Moha (bingung).

Penduduk Mentawai, kata Rengga, meyakini bahwa perempuan yang memiliki gini runcing memiliki nilai lebih dari perempuan lainnya. "Maka itu, sakit pun tidak mereka rasa ketika proses kikir gigi," katanya.

Seturut dengan hal tersebut, salah seorang istri kepala desa Mentawai, Pilongi mengatakan bahwa proses peruncingan gigi lebih kepada untuk menjaga keseimbangan antara tubuh dan jiwa.

Meski demikian, Pilongi juga mengaku pada saat remaja ia sempat menghindari ritual tersebut. Ia merasa takut. Namun, pada akhirnya ia tetap merelakan giginya 'dihabisi'.

"Saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi ketika mereka melakukannya, saya hanya membiarkan mereka untuk meruncingkan gigi saya," kata Pilongi seperti dikutip dari nationalgeographic.grid.id.

Setelah semua selesai, Pilongi diminta untuk menggigit pisang hijau. Alasannya cuma satu. Agar rasa sakit yang ia rasa berkurang. "Sekarang gigi saya tajam dan saya terlihat lebih cantik. Ini untuk suami saya. Jadi dia tidak akan meninggalkan saya," katanya.

Selain itu, mereka juga meyakini bahwa manusia memiliki dua wujud yang tidak akan binasa. Tubuh dan arwah.

Maka itu, menghias diri merupakan hal penting. Tidak hanya mengikir gigi. Juga seperti menato tubuh. "Agar hidup kita damai dan panjang umur," kata Aman Laulau.