Jejak Tuan Tanah Depok, Cornelis Chastelein dan Wasiat Ekologisnya
- siap.viva.co.id - Noer Ardiansyah
Siap – Hidup sebagai tuan tanah dan penguasa tunggal wilayah Depok membuat Cornelis Chastelein menjadi sosok yang disegani dan dihormati pada masanya.
Sekira tahun 1691, pemerintah kolonial Belanda memberikan hak khusus kepadanya untuk tinggal dan mengelola wilayah Depok.
Tak heran, Depok menjadi wilayah otonom yang tidak diganggu gugat oleh pemerintah Belanda kala itu.
Kawasan tempat tinggal Cornelis Chastelein begitu luas. Ia hidup bersama para budaknya yang kemudian mendapat warisan berupa tanah.
Dilansir dari situs Yayasan Cornelis Chastelein, tanah-tanah tersebut kemudian diberikan kepada budak-budaknya melalui sebuah surat wasiat yang isinya seperti berikut ini:
"Maka hutan yang lain yang di sebelah Timur Sungai Krukut sampai ke sungai besar anakku Anthony Chastelein tiada boleh ganggu sebab hutan itu mesti tinggal akan gunanya budak-budakku merdeka, dan juga mereka itu dan turun-temurunnya tiada sekali-kali boleh potong atau memberi izin akan potong kayu dari hutan itu buat penggilingan tebu dan lainnya."
Wasiat tersebut dibuat pada 13 Maret 1714.
Selain memerdekakan para budaknya yang menjadi cikal bakal warga awal Kota Depok, Chastelein menitipkan hutan larangan. Hutan itu hingga kini masih bisa ditemui.
Gagasan mantan tenaga pembukuan VOC tersebut terbilang melampaui zamannya.
Di saat persoalan kelestarian lingkungan tak menjadi isu utama di masa Belanda berkuasa di negeri ini, Chastelein malah mewariskan hutan dengan larangan ketat agar eks budak merawatnya.
Chastelein seperti antitesis perangai kompeni atau Pemerintah Hindia-Belanda yang menguras habis kekayaan alam negeri ini bagi kemakmuran negara kincir angin.
Pemilik tanah Depok yang hidup pada 1657-1714 itu juga mewanti-wanti agar mantan budaknya tak menjadikan hutan larangan tersebut menjadi Tipar atau huma.
Kini, hutan warisan hutan Chastelein dikenal sebagai Taman Hutan Raya (Tahura) Pancoran Mas yang terletak di Jalan Cagar Alam, Pancoran Mas.
Warga sekitar biasa menyebutnya sebagai Cagar Alam. Tahura memiliki luas sekitar 7 hektare saat ini.
Dahulu, kawasan paru-paru Depok tersebut lebih luas lagi karena mencakup wilayah lain seperti Ratujay, Rawageni, dan Mampang.
Menjamurnya berbagai hunian turut andil terhadap penyusutan luas Tahura. Tahura Pancoran Mas diperkirakan menjadi salah satu cagar alam tua yang ada di Indonesia.
Sejarawan Wenri Wanhar menilai, Chastelein merupakan tokoh Belanda yang memiliki pandangan visioner. Kesadaran ekologi dalam wasiat Chastelein tersebut di luar dugaan.
Pasalnya, pada masa tersebut, rata-rata orang Eropa khususnya Belanda melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan alam Indonesia.
Menurut Wenri, Chastelein memiliki alasan tersendiri menjadikan lahan warisannya sebagai hutan larangan karena ia melihat kerakusan VOC menebang pepohonan untuk kepentingan industri gula.
Wasiat Chastelein pun mengungkapkan kekhawatiran kerusakan hutan akibat penebangan hutan demi kepentingan penggilingan gula. Kekhawatiran itu disampaikan kepada putranya, Anthony.
Jan Karel Kwisthout, penulis asal Belanda dalam bukunya Jejak Jejak Masa Lalu Depok, Warisan Cornelis Chastelein (1657-1714) kepada Para Budaknya yang Dibebaskan juga menceritakan tata kelola hutan larangan itu di masa lalu.
"Kepada penduduk Depok, ia juga memberi peraturan terperinci tentang pembatasan penggunaan hutan yang berlimpah di tanah-tanah liar di Depok dan sekitarnya. Mereka dilarang untuk menebang pohon di hutan rimba yang terletak antara Crocot (Sungai Krukut) dan Tjliliwung (Ciliwung)," tulis Jan dalam bukunya.
Chastelein, tuturnya, tahu benar tabiat warga pribumi yang memperluas lahan dengan cara merusak hutan.
Chastelein sudah mengemukakan bahwa penduduk pribumi sangat cenderung menebang dan membakar hitan apabila kekurangan tanah pertanian yang subur untuk menanam padi.
Lebih lanjut penulis Belanda yang neneknya lahir dan besar di Depok itu mengungkapkan ladang padi yang kering tidak boleh dibuat di dalam hutan karena hasil berasnya kurang maksimal.
Sehingga hutan perlu dilestarikan sebagai cadangan alami bagi eks budak Chastelein dan keturunannya.
Meskipun menyusut, hutan warisan itu masih tersisa. Namun, akses warga cukup terbatas untuk sekadar berjalan-jalan menikmati pemandangan Tahura.
Pasalnya, akses jalan setapak ke kawasan hutan tersebut sangat terbatas.
Alih-alih menjadi lokasi yang nyaman, Tahura justru terlihat seram karena jarang didatangi pengunjung.
Pengunjung yang datang biasanya hanya para peneliti flora dan fauna.
Sejumlah pohon yang bisa ditemui di Tahura adalah mahoni, benda, walisongo, kecapi, rambutan, jengkol dan bambu. Hewan seperti biawak, ular, dan musang juga menghuni Tahura.
Pemkot Depok pernah berencana merevitalisasi Tahura guna dijadikan obyek wisata serta lokasi konservasi tumbuhan dan satwa liar.
Pemkot Depok pun bakal melakukan pemagaran, pembuatan jalan setapak, saung serta rumah jaga.
Akan tetapi, pernyataan tersebut hanya sebatas wacana tanpa realiasasi.
Musababnya, status Tahura merupakan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat sejak aset keturunan eks budak Chastelein dinasionalisasi pada 4 Agustus 1952.
Sangat disayangkan warisan ekologi Cornelis Chastelein kini semakin sempit dan tidak terawat secara baik.