Pernyataan Walikota Depok Jadi Kontroversi, Mad Arif: Harusnya Solusi Bukan Tudingan Politisasi
- Siap.viva.co.id
Siap –Pernyataan Walikota Depok Mohammad Idris soal kasus penggrudukan GBI Kapel di Cinere menjadi kontroversi ditengah masyarakat, bahkan sempat ramai di media sosial sehingga berujung pada tanggapan miring dari netizen.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi A DPRD Kota Depok dari Fraksi PDIP Mad Arif mengatakan bahwa harusnya sebagai seorang Walikota dapat memberikan solusi yang menyejukkan untuk masyarakat khususnya warga Depok.
Terlebih peran Pemerintah disini harus berdiri ditengah dalam menyikapi persoalan tersebut bukan malah mengaitkan dengan politik sampai ada bahasa politisasi.
"Sebenarnya masyarakat hanya ingin melihat ketegasan dari Pemerintah Kota Depok dalam memberikan solusi terkait persoalan Kapel tersebut," katanya.
Terkait soal adanya pelanggaran hingga terjadi penggerudukan oleh warga dan LPM, kata Mad Arif, dirinya sepakat dengan pernyataan anggota DPRD Depok, Ikravany Hilman yang menyebutkan bahwa jika ada pelanggaran harusnya warga melapor ke instansi terkait bukanya langsung melakukan eksekusi semena-mena mengehentikan kegiatan ibadah.
"Saya sepakat dengan Pak Ikra, sepakat disini bukan mentang mentang saya sama sama fraksi PDIP, tapi dalam persoalan kapel memang begitu adanya," ucap Mad Arif.
"Intinya masyarakat itu butuh solusi, bukan malah digiring ke persoalan Depok toleransi dan politisasi," tegasnya.
Lebih lanjut Mad Arif mengatakan, terkait pernyataan walikota soal laik bangunan pada kapel di Cinere, menurutnya sah-sah saja karena itu bagian dari upaya pemerintah untuk memastikan keamanan warganya ketika beraktifitas dibangunan tersebut.
"Tapi jangan hanya berlaku di Kapel saja, berlakukan hal tersebut kepada semua bangunan yang ada di Depok," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, anggota DPRD Depok, Ikravany Hilman, Idris salah mempersepsikan Peraturan Bersama Dua Menteri yang mengatur tentang rumah ibadah.
Ia menjelaskan, bahwa memang dalam peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri disebutkan, bahwa pemanfaatan gedung yang bukan tempat ibadah.
Misalnya, ruko sebagai rumah ibadah sementara, dan itu harus mendapatkan persyaratan, termasuk sertifikat laik bangunan atau yang disebut SLF, serta izin tertulis dan segala macam.
"Nah pertanyaannya adalah, ini yang menurut saya sangat salah dalam memahami. Dia nggak baca dulu dari awal-awal yang disebut rumah ibadah itu apa sih?" tanya pria yang akrab disapa Ikra itu pada Rabu, 20 September 2023.
Kemudian Ikra juga menyoroti sorotan aksi penolakan dari warga atau LPM. Menurutnya, dalam kasus yang melanggar pun warga nggak bisa semena-mena menghentikan kegiatan ibadah. Yang bisa dilakukan hanyalah melapor pada instansi berwenang, dalam hal ini pemerintah kota.
"Nah ini kan pernyataan Pak Wali kemarin seolah-olah (warga datang) cuma 10 menit kok, cuma lihat-lihat, ini kesalahpahaman, terus enggak ada itu nyeruduk dan seterusnya," kata dia.
"Jadi, seolah-olah cuma berita aja. Tapi kan jelas-jelas bahwa terjadi penolakan. Mereka itu hadir untuk menolak rumah ibadah, itu alasannya enggak ada izin kek, apalah itu." sambungnya.
Kalaupun itu bangunan rumah ibadah keluarga tidak ada izin, kata Ikra, bukan kewenangan warga untuk melakukan penutupan atau pelarangan.
"Itu namanya persekusi," tuturnya.
Parahnya lagi, masih kata Ikra, pemerintah kota justru terkesan membela aksi tersebut.
"Seharusnya pemerintah kota bilang, kalau ada masalah-masalah seperti itu laporkan kepada kami. Terus sampaikan, jangan bertindak masing-masing gitu kan biar kami yang atur. Ini kan enggak." tuturnya.
"Sehingga yang saya khawatirkan adalah karena sifatnya yang permisif terhadap tindakan-tindakan seperti itu, kalaupun ini dibereskan nanti di tempat lain ada lagi. Karena pemerintah kota enggak menunjukkan sikap tegasnya," pungkas Ikra.