Mengenal Tokoh Muslim Tionghoa Pencomblang Sukarno-Fatmawati
- Istimewa
Siap – Sukarno naik podium. Masyarakat Bengkulu mendadak hening.
Suara menggelegar langsung menyambar begitu kata pertama keluar. Kutukan terhadap kekejaman tentara Jepang berkali-kali terlontar.
Bung Karno lantas mengusulkan pendirian sebuah badan untuk penolong korban kekejaman tentara Jepang, atau PEKOPE (Penolong Korban Perang).
Ia kemudian bertanya siapa kira-kira orang paling pantas mengisi posisi ketua.
Semua bulat menjawab: Sukarno. Bung Besar menggeleng.
"Orang paling pantas menjadi ketua ialah Oey Tjeng Hien. Ia punya pengaruh. Saudara Oey Tjeng Hien bisa memerintah saya," tandas Sukarno.
Oey Tjeng Hien tak bisa mengelak didapuk jadi ketua, sementara Bung Karno mendampingi sebagai wakil ketua.
PEKOPE menjadikan Masjid Muhammadiyah Kebon Ros markas.
Saban malam, kondisi masjid sengaja dibuat temaram. Pintu dan jendela ditutup.
Semua itu berlaku karena takut terendus tentara Jepang.
Meski begitu, PEKOPE kemudian bubar setelah Jepang merangsek Bengkulu, dan Bung Karno dipindah ke Padang untuk sementara berpisah dengan Oey Tjeng Hien.
Siapa sebenarnya tokoh Tionghoa paling dipercaya Bung Karno selama pengasingan di Bengkulu tersebut?
Oey Tjeng Hien lahir di Padang, 6 Juni 1905.
Putra pasangan Oey Tian Seng dan Gho Soean Nio menempuh pendidikan Hollandsch Chineesche School (HCS) atau Sekolah Dasar berbahasa Belanda untuk orang Tionghoa.
Setamat HCS, tahun 1926, Oey Tjen Hien merantau ke Bintuhan, Bengkulu.
Di sana, ia berdagang hasil bumi dan sering berinteraksi dengan orang Melayu terutama warga Muhammadiyah.
Interaksi itu menjadi salah satu dari sekian aske, Oey Tjeng Hien kemudian mengamini Islam sebagai takdir hidup.
Ia bergabung dengan organisasi Muhammadiyah dan langsung diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah Bengkulu (1947-1942).
"Sekarang namanya lebih terkenal dengan sebutan Bapak Haji Abdul Karim Oei," kenang Buya Hamka pada Da'wah dan Asimilasi.
Abdul Karim Oei langsung akrab dengan Buya Hamka. Hubungan mereka makin erat saat Hamka berkunjung ke Bengkulu tahun 1938.
Saat bertemu, selain saling membincang perkara agama, juga bicara hal-hal ringan dan acap berseling kelakar.
Pertalian persahabatan itu pun melibatkan Sukarno.
Setelah dibuang selama lebih-kurang empat tahun di Ende, Flores, pemerintah Belanda kemudian menempatkan Sukarno di Bengkulu.
Ia lalu bersentuhan dengan orang-orang Muhammadiyah, seperti Hassan Din (kelak jadi besan) dan Karim Oei.
Dari Hassan Din, mula-mula Bung Karno mendapat tempat menjadi pengajar di sekolah Muhammadiyah, lalu setelah itu menjadi anggota organisasi nanti didirikan KH. Ahmad Dahlan.
Dengan Karim Oei, Sukarno sempat mengajaknya untuk berwirausaha membuat usaha mebel.
Sukarno akan sudi membuat gambar, lalu Karim Oei mewujudkannya hingga laku terjual. Usaha itu diberi nama "Suka Merindu".
Karim Oey menjadi semakin dekat dengan Bung Karno. Bahkan untuk persoalan pribadi. Termasuk ketika Si Bung mulai jatuh dengan gadis jelita putri Hassan Din.
Meski telah menikah dan Inggit ikut bersamanya selama di Bengkulu, Bung Karno ternyata tak bisa menahan gejolak cinta kepada Siti Fatma.
Bung Besar memberi nama Fatmawati, bermakna Bunga Teratai.
Kisah cinta itu cukup pelik lantaran Fat tak mau dimadu. Makin pelik ketika Bung Karno kemudian harus meninggalkan Bengkulu.
Karim Oei menjadi penghubung antara Sukarno dan Fatmawati.
Surat-surat Sukarno dari Jawa untuk Fatmawati selalu lewat dirinya.
Tak jarang Karim Oei sendiri membacakan isi surat itu di hadapan Fat.
Saat persoalan dengan Inggit rampung, Sukarno berkirim kabar akan segera mempersunting Fat.
Tak lama surat datang.
Surat itu memuat catatan kepada Abdulkarim Oei menjadi "Wakil Mutlak" untuk pernikahan in absensia, dengan berbubuh tanda tangan Sukarno disaksikan Bung Hatta, Mas Mansur, dan Ki Hadjar Dewantara.
Fat menolak dan berkukuh agar Sukarno datang.
Karim Oei berat hati melihat pergumulan itu.
Ia tak ingin terjebak dan mulai memikirkan satu nama untuk menggantikannya sebagai Wakil Mutlak.
"Saya ingat seorang teman dekat Bung Karno, Opseter Sardjono," kata Karim Oei pada Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, Sahabat Karib Bung Karno.
Opseter setuju, namun sang nyonya?
Dengan perlahan dan penjelasan merinci, Karim Oei menegaskan kepada Nyonya Sardjono kalau suaminya hanya menjadi utusan Sukarno.
"Sekadar mewakili Bung Karno mengucapkan ijab-kabul, lain dari itu tidak ada," tegas Karim Oei.
Nyonya setuju. Opseter Sardjono pun menjadi Wakil Mutlak dan pernikahan terlaksana.
Kontak dengan Sukarno tidak berhenti sampai di situ, meski kemudian Karim Oei tambah sibuk.
Ia mempersunting Thio Ay Nio atau Maimunah Mukhtar. Dari pernikahan itu hadir tiga orang anak.
Ia secara tidak langsung mulai menerapkan konsep pembaruan antara kalangan Tionghoa dan Bumiputera.
Salah satu contoh nyata, menikahkan anak-anaknya dengan orang Bumiputera.
Di bidang agama pun, ia menjadi pintu gerbang bagi orang Tionghoa mengenal Islam secara lebih merinci dan menyeluruh.
Bersama Muhammadiyah, Karim Oei sangat aktif mengemban tugas sebagai Konsul Muhammadiyah Bengkulu selama 14 tahun, lalu Konsul Muhammadiyah Se-Sumatra (1944-1946).
Pada masa Pendudukan Jepang, Karim Oei ditugaskan menjadi Wakil Ketua Shu-Sangi-Kai (Dewan Pertimbangan Daerah).
Pada tahun 1945, Babadek (sapaan akrab masyarakat Bengkulu terhadap Karim Oei) terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia.
Setelah proklamasi, Republik Indonesia berdaulat, ia bergabung dengan Partai Masyumi.
Selain aktif di kepartaian dan organisasi Muhammadiyah, kariernya di luar urusan politik pun terus melaju.
Mulai dari menjabat Direktur Bank Muslimin Indonesia di Bengkulu, dan turut membidani kelahiran Bank Central Asia (1973), serta usaha lain di bidang asuransi, perdagangan, dan industri.
Keseimbangan mengembangkan bisnis dan menjalankan ajaran agama Islam membuat Karim Oei dipandang sebagai tokoh penting di kancah perpolitikan nasional.
Ia sempat menduduki posisi sentral di Masyumi.
Meski begitu, terhadap sesama muslim Tionghoa juga tak pernah absen.
Pesan PP Muhammadiyah, H Ibrahim, sangat membekas di benak Karim Oei.
"Saya titipkan pada saudara menghadapi keluarga kita orang-orang Tionghoa. Mengapa orang bisa merangkul, kita tidak?".
Pesan itu lantas dijadikan Karim Oei sebagai lecutan bersama dengan Yap Aku Siong dan Soei Ngo Sek membuat organisasi khusus bagi muslim Tionghoa, bernama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) pada 1953.
Setelah dirasa perjuangan PIT masih bersifat lokal, Abdul Karim Oei berdiskusi dengan Kho Goan Tjin, pendiri Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) untuk menggabungkan dua organisasi.
PIT dan PMT kemudian berfusi menjadi Persatuan Iman Tauhid Indonesia (PITI) pada 14 April 1961. Karim Oei menjadi ketua pertama.
Meski semula dikhususkan untuk organ bagi muslim Tionghoa, secara kepengurusan sudah terjadi pembaruan dengan hadirnya H Isa Idris sebagai penasehat dan Mayor Muhammad Johan Syah sebagai sekretaris.
PITI berazaskan Al-Quran dan sunnah agar para anggotanya para mualaf lebih mendalami ajaran agama Islam dan melaksanakan ibadah sesuai ketentuan.
Kepengurusan PITI berganti seiring zaman, tapi jasa Karim Oei tak pernah terhapus.
Begitu pula jasa Bung Karno kepadanya.
Meski banyak beroleh tuntutan dan cemooh dari para demonstran, Karim Oei berusaha untuk bisa mengunjungi Bung Karno di masa akhir Presiden Pertama RI.
Ia mendengar kabar kesehatan Bung Karno memburuk.
Setelah menelpon Bung Hatta, mereka sama-sama berangkat menjenguk.
Usai berhasil melewati pengawalan ketat, Karim Oei dan Bung Hatta mendapati Si Bung terkapar lemas.
Matanya terbuka dan tidak bergerak sedikit pun. Napas dan detak jantungnya lemah sekali.
"Air mataku menetes tak tertahankan. Mungkin ini terakhir kali aku melihat dan menjumpai teman akrabku ini, pikirku," kata Karim Oei pada Yunus Yahya dalam Peranakan Idealis, Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya.
Tak lama setelah itu Bung Karno berpulang, 21 Juni 1970.
Delapan belas tahun usai kepergian karibnya, Karim Oei pun berpulang di usia 83 tahun.
Jejak perjuangan dan tapal baktinya di dunia Islam tak bisa dikesampingkan.
Pada 1991, beberapa organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Wasliyah, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan keluarga muslim Tionghoa mendirikan Yayasan Haji Karim Oei di jalan Lautze 87-89, Pasar Baru, Jakarta.
Terdapat masjid besar yang biasa disebut Masjid Lautze.
"Inilah satu-satunya masjid memakai nama seorang Nabi Tionghoa, Lau Tze!" tulis Yunus Yahya.