Presiden Diminta Bertindak: Apa Motif di Balik Penggeledahan Ditjen Migas?

Kementerian ESDM
Kementerian ESDM
Sumber :
  • Kementerian ESDM

SiapPresiden Prabowo Subianto sebaiknya segera meminta penjelasan dari Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jampidsus Febri Ardiansyah mengenai motif di balik penggeledahan yang dilakukan Tim Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) pada Senin, 10 Februari 2025.

Penggeledahan tersebut berujung pada penonaktifan mendadak Achmad Muchtasyar (Ucang) sebagai Dirjen Migas oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang memunculkan banyak pertanyaan.

Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman menyatakan bahwa Achmad Muchtasyar baru saja dilantik sebagai Dirjen Migas, dan keputusan untuk menandatangani kebijakan terkait pembatasan penjualan LPG 3 kg adalah langkah untuk menyelamatkan subsidi pemerintah yang sudah terlalu besar.

"Dalam lima tahun terakhir, Rp 355,3 triliun telah digunakan untuk subsidi LPG 3 kg. Untuk tahun 2025 saja, anggaran subsidi mencapai Rp 87,6 triliun," kata Yusri dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad, 16 Februari 2025.

Yusri menambahkan, kebijakan tersebut sebenarnya berfungsi untuk memastikan bahwa subsidi tepat sasaran dan bisa dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkan, namun ternyata kebijakan tersebut mendapat respons yang terhambat dari PT Pertamina Patra Niaga.

Perusahaan tersebut diduga membatasi distribusi LPG 3 kg hingga 50 persen dari volume normal dan baru mulai sosialisasi kebijakan tersebut pada 28 Januari 2025, meskipun pemberitahuan sudah diterima dari Ditjen Migas sejak 20 Januari 2025.

"Penjelasan dari Jaksa Agung sangat penting agar publik tidak muncul spekulasi negatif bahwa penggeledahan tersebut ditumpangi oleh mafia migas untuk menjatuhkan Achmad Muchtasyar," tegas Yusri.

Yusri juga menyarankan agar penyelidikan mengenai dugaan permainan impor BBM dan minyak mentah yang diselidiki oleh Kejagung tidak mengganggu persepsi negatif yang bisa merusak program peningkatan lifting migas nasional.

Menurutnya, penggeledahan harus dilihat dari perspektif yang lebih objektif agar publik tidak salah paham tentang kekacauan distribusi LPG 3 kg yang terkait langsung dengan kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.

Lebih lanjut, Yusri menyoroti bahwa tidak ada visi dan misi Menteri ESDM yang jelas dalam menjalankan kebijakannya.

"Tidak ada visi dan misi Dirjen Migas, yang ada hanya visi dan misi Menteri berdasarkan visi Presiden," tambahnya.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perubahan kebijakan di Kementerian ESDM lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik dan bisnis daripada kebutuhan strategis negara dalam sektor energi.

Yusri juga mengkritisi penjelasan yang diberikan oleh Kapuspen Kejagung, Dr. Harli Siregar, yang disebutnya janggal dan tidak menyertakan informasi penting.

"Mengapa Kejagung tidak menjelaskan bahwa sebelumnya telah menggeledah kantor-kantor Pertamina, termasuk Pertamina Patra Niaga dan Pertamina Kilang International? Ini harus dijelaskan kepada publik," ungkap Yusri.

Dengan kondisi yang semakin rumit, Yusri mengingatkan bahwa defisit lifting minyak yang terus menurun—hanya mencapai 585.000 barel per hari—membuat Indonesia semakin bergantung pada impor BBM dan LPG, yang telah menghabiskan dana besar dari APBN.

"Ironisnya, Pertamina menghabiskan puluhan miliar dolar untuk akuisisi blok migas di luar negeri, sementara produksi migas domestik kita masih minim," kata Yusri, mengungkapkan betapa krusialnya pengelolaan sumber daya energi dalam negeri.

Dia juga menambahkan bahwa rencana untuk mengambil alih proses impor minyak mentah dan BBM oleh Kementerian ESDM dapat memicu konflik bisnis besar.

"Ucang diduga menjadi korban dari persaingan antara kelompok bisnis besar yang berusaha menguasai pasokan energi Indonesia," pungkasnya.

Yusri menutup dengan menegaskan pentingnya kejelasan hukum dalam pengelolaan sumber daya migas di Indonesia.

"Kebijakan yang diambil harus mengutamakan kepentingan rakyat, bukan sekadar bisnis atau politik," kata Yusri, mengingatkan pemerintah untuk lebih transparan dalam kebijakan migas.