Hikayat Margonda, Pejuang Revolusi yang Mati Muda
- Margonda, historia.co.id/KITLV
Siap – Margonda bukan hanya sekadar nama jalan utama di kawasan Depok, Jawa Barat. Margonda adalah salah satu pejuang revolusi yang ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Margonda gugur pada usia 27 tahun dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, namun hingga kini tidak diketahui sama sekali di mana lokasi pusarannya berada.
Mahruf juru bicara Museum Perjoangan Bogor bercerita Margonda adalah sahabat karib Ibrahim Adjie yang pernah menjabat sebagai Pangdam III Siliwangi dan Kapten TB Muslihat. Sebagai sesama pejuang dan serdadu baik Margonda, Ibrahim dan Kapten TB Muslihat kerap berkumpul.
Kala itu mereka tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang bermarkas di Bogor.
"Di sini (Museum Perjoangan Bogor) sering berkumpul para veteran pejuang. Saya dapat cerita tentang persahabatan Margonda, Ibrahim Adjie dan Kapten Muslihat dari kawan-kawannya yang masih hidup," kata Mahruf seperti dilansir dari Historia.co.id.
Kiprah dan sepak terjang Margonda dalam perjuangan revolusi memang tidak setenar Ibrahim Adjie dan TB Muslihat.
Padahal sebagai seorang prajurit revolusi Margonda pernah menjadi pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI).
AMRI sendiri bermarkas di Kota Bogor dan berdiri lebih dulu daripada Badan Keamanan Rakyat (BKR).
"Umur kelompok ini relatif singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dan lain-lain," seperti tertulis buku dalam Sejarah Perjuangan Bogor.
Margonda Gugur
Sebagai seorang prajurit yang memegang teguh Sapta Marga tentu saja Margonda harus berjuang membela Tanah Air habis-habisan dari invasi dan serangan tentara Sekutu kala itu.
Doktrin dan semangat prajurit digenggam erat Margonda.
Meski masih menyandang status sebagai pengantin baru, Margonda tetap menjalankan tugas utamanya membela dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Pada tanggal 11 Oktober 1945 Margonda dilepas dengan istrinya Maemumah pergi dari Bogor menuju Kota Depok.
Kedatangan Margonda dengan pasukan AMRI dan para pejuang yang berasal dari berbagai Laskar dari Bogor dan sekitarnya untuk menyerbu Kota Depok.
Invasi terpaksa dilakukan lantaran Kota Depok enggan bergabung di bawah supremasi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam serangan tersebut Margonda bersama dengan kelompok revolusioner pemuda berhasil menguasai Kota Depok dalam tempo cepat.
Meski demikian, penguasaan terhadap Kota Depok hanya berlangsung singkat, sebab Tentara Sekutu bersama dengan Tentara Belanda datang merebut kembali Kota Depok.
Para pemuda revolusioner yang berada dalam kondisi terjepit segera mundur untuk menyusun strategi guna melakukan serangan kembali.
Adung Sakam salah seorang pemuda yang ikut berjuang dalam peristiwa menceritakan, usai menggelar rapat para pemuda dan barisan AMRI memutuskan melakukan serangan balik pada tanggal 16 November 1945.
Operasi serangan tersebut menggunakan istilah 'serangan kilat'. Tak ayal dalam serangan besar-besaran itulah Margonda bersama dengan para pemuda gugur terkena timah panas tentara Sekutu.
"Itulah pertempuran yang paling benar-benar sengit. Dari jam lima pagi sampai jam lima pagi besoknya lagi. Perang sehari semalam itu sandinya Serangan Kilat, kalau di Jogja ada Serangan Fajar. Saya ikut bertempur," kata Adung seperti dilansir dari Historia.co.id.
Untuk mengenang keberanian serdadu Pembela Tanah Air itu, Pemerintah Kota Bogor membangun patung Kapten Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun Bogor.