Insinerator di TPS Sukmajaya Diprotes Warga, Anom: Itu Akibat Pemkot Depok Ngawur

Potret kolase Anom Wibisono
Sumber :
  • Istimewa

Siap –Alih alih mendapat aparesiasi, upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dalam menangulangi masalah sampah dengan menghadirkan mesin pembakar sampah atau insinerator di TPS jalan Merdeka, Kecamatan Sumajaya, Kota Depok, Jawa Barat malah menuai kritikan.

Pasalnya, kebaradaan insenerator tersebut dianggap tak melalui kajian mendalam seperti melakukan analisis dampak lingkungan (Amdal) akibat adanya pembakaran.

Akibat hal tersebut, sejumlah warga melakukan aksi unjuk rasa, menolak penggunaan mesin pembakar sampah atau insenerator di TPS Jalan Merdeka, Kecamatan Sumajaya, Kota Depok, Jawa Barat.

Warga menilai, mesin insenerator yang digunakan Pemerintah Kota Depok menyebabkan polusi udara dan menggangu kesehatan.

Dalam aksinya, sejumlah massa yang didominasi kaum emak-emak itu juga membawa sejumlah spanduk berisi kecaman, di antaranya 'Kami Warga RW 06 Tidak Mau Udara Tercemar, Tolak Penempatan Insinerator di Tengah Pemukiman Padat Penduduk'.

Lalu ada pula yang berisi 'Udara Bersih Hak Kami, Warga tolak Insenerator di Lingkungan Padat. Kemudian warga lainnya membawa spanduk 'Lindungi Masa Depan Kami'.

Beberapa di antara mereka juga memukul tutup panci dan galon kosong sambil meneriakkan agar insenerator tersebut ditutup.

"Tutup, tutup, tutup, tutup," teriak pendemo di depan TPS Merdeka pada Senin, 23 Desember 2024. Koordinator aksi penolakan insinerator,

Andri Yansyah mengatakan, bahwa alat tersebut membawa dampak buruk terhadap warga.

"Kami merasa terdampak akan adanya mesin ini, karena asapnya dan limbahnya sangat-sangat mengganggu lingkungan kami," katanya.

Menurut Andri, hadirnya alat pembakar sampah ini tanpa sepengetahuan warga.

Mereka tidak pernah diajak untuk berdialog maupun sosialisasi.

"Kami sudah berusaha mencari tahu, serta bersurat ke wali kota maupun DLHK mempertanyakan kenapa mesin ini tiba-tiba muncul, tapi tidak ada jawaban," ujarnya.

Lebih lanjut Andri mengungkapkan, sejumlah warga sudah mulai terdampak akibat adanya alat pembakar sampah ini.

"Sesak nafas kami, semua yang berada di sini merasa hidungnya tersumbat, matanya perih, batuk. Semua kita merasakan dan baunya pun menyengat," katanya.

Andri menambahkan, polusi udara akibat insinerator tersebut berdampak bagi empat RW. Seperti RW 06, 08, 28 dan RW 29 yang terdapat ribuan penduduk.

"Ini dibakarnya dari pagi sampai malam, ada videonya. Itu asap itu masih ngebul dan banyak. Bayangin itu buat kami. Tidur pun kami nggak tenang," tuturnya.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Yayasan Governansi Nusantara Emas yang juga Pakar dan Praktisi Pertanian Ramah Lingkungan/Pertanian Organik serta pemerhati lingkungan Anom Wibisono mengatakan bahwa memang keberadaan insenerator di tengah pemukiman itu adalah sesuatu hal yang ngawur.

Karena kata Anom, dampak yang dihasilkan oleh alat tersebut pastinya akan dirasakan oleh warga aekitar yang radiusnya tidak jauh dari TPS.

"Ngawur, harusnya Pemkot Depok dalam hal ini melakukan kajian mendalam sebelumnya agar tak terjadi penolakan seperti ini," kata Anom.

Lebih lanjut Anom menuturkan, dirinya tak menampik bahwa insenerator ini adalah salah satu alat untuk menangulangi permasalahan sampah.

Tapi, kata Anom, jika alat yang notabenenya sangat berguna namun dalam penerapannya tidak sesuai dengan tata cara yang sesuai malah bisa menimbulkan masalah baru.

"Jadi, jangan sampai niatnya mengatasi masalah malah menimbulkan masalah baru, apalagi pengadaan alat seperti isenerator itu menelan biaya yang tidak sedikit," katanya.

Idealnya, lanjut pria jebolan UNAS jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi) ini, alat seperti insinerator itu harusnya berada di TPA Cipayung, bukan ditengah pemukiman.

Pasalnya, jika berada di lokasi TPA, dampak buruk yang dirasakan masyarakat juga tidak terlalu signifikan karena berada di tempat yang tidak bersinggungan langsung dengan aktifitas warga.

Selain itu, pihak yang menyediakan alat tersebut juga harus memenuhi aturan yang berlaku seperti adanya konsultan yang melakukan kajian anaslisis dampak lingkungan dan lain sebagainya.

" Jadi wajar kalau masyarakat menolak, karena masyarakat merasakan dampak secara langsung, jangan kompensasi akibat dampak yang ditimbulkan, sosialisasi saja tidak ada," tandasnya.

"Jadi disini bukan soal alatnya yang bermasalah, tapi lebih kepada lokasi keberadaan dan teknis yang bermasalah," sambung Anom.