Jalan Terjal dan Berliku Risna Hasanudin Bebaskan Perempuan Arfak dari Buta Aksara

Potret ilustrasi
Sumber :
  • Istimewa

Siap –Jalan terjal dan berliku Risna Hasanudin bebaskan perempuan Arfak dari buta aksara berbuah manis.

Pasalnya, perjuangan serta jerihpayah Risna Hasanudin berhasil mendapat penghargaan apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2015 pada kategori pendidikan.

Kisah Risna tersebut bermula ketika ia dari Banda Naira ia terbang menuju ke pelosok Papua Barat, tepatnya ke Kampung Kobrey, Kabupaten Manokwari Selatan.

Di kampung tersebut banyak tinggal suku Arfak asli yang dulunya menetap di atas gunung namun sebagian telah turun dan dibuatkan rumah oleh pemerintah setempat.

Kampung Kobrey menjadi tujuan Risna karena kondisi masyarakat di sana khususnya perempuan suku Arfak banyak yang tertinggal dalam pendidikan dan kebanyakan dari mereka buta aksara.

Penyebabnya adalah faktor adat suku Arfak yang menganggap perempuan tidak perlu bersekolah tinggi.

Alhasil, para perempuan di sana putus sekolah. Paling tinggi mereka hanya bersekolah sampai di bangku kelas 3 SD. Mirisnya, mereka putus sekolah dengan kondisi belum bisa baca tulis.

Sangat memprihatinkan, bukan? Saat kita bisa mengakses pendidikan dengan mudah, perempuan-perempuan Arfak bahkan untuk sekadar belajar membaca dan menulis pun kesulitan karena tak ada yang mengajari.

Belum lagi dilihat dari sisi kesehatan Suku Arfak.

Banyak perempuan di Kobrey meninggal akibat kanker.

Berbanding lurus dengan literasi mereka yang sangat rendah. Pendapatan masyarakat suku Arfak juga sangat terbatas, sebagian besar mereka hidup dalam kondisi miskin.

Hal inilah yang menggerakkan hati Risna untuk mengabdi di Kampung Kobrey.

Perempuan asal Banda Naira, Maluku Tengah ini memilih tinggal di Papua untuk mencerdaskan para perempuan dari Suku Arfak.

Menurutnya, pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk membawa perubahan yang lebih baik.

Ia kemudian mendirikan rumah belajar yang dinamai Rumah Cerdas Komunitas Perempuan Arfak (RCKPA).

Sejak duduk di bangku kuliah, Risna mengaku sudah tertarik dengan isu-isu Papua.

Ia penasaran ingin melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kondisi di Papua. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab, pada 2006, Risna berkesempatan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Papua Barat, lalu pada 2012 ia terjun sebagai relawan di wilayah binaan Sorong dan Fakfak.

Masa KKN lalu menjadi relawan, dua pengalaman berharga itu sudah cukup memantapkan niatnya untuk mengabdi.

Dia sudah melihat sendiri bagaimana kondisi di Papua, cukup memprihatinkan, masih banyak orang Papua khususnya anak-anak dan perempuan yang tinggal di pelosok tertinggal pendidikannya.

Walau bukan berasal dari Papua, tapi hati Risna seolah sudah terpaut dan jiwanya merasa terpanggil.

Ia harus membantu anak-anak dan perempuan Papua untuk maju. Sayang, niat mulianya itu kurang mendapat dukungan dari keluarga.

Masalah jarak menjadi penghalang. Orang tuanya tidak membiarkan ia merantau jauh. Tentu Risna tidak kehilangan akal.

Ia tetap mencari cara agar bisa kembali ke Papua namun dengan jalur yang aman.

Karena jika memutuskan berangkat sendiri orang tuanya pasti tidak mengizinkan.

Tahun 2014, akhirnya ia bisa terbang kembali ke tanah Papua melalui program Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Yaitu program Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan (PSP3) yang sekarang dikenal dengan nama program Pemuda Mandiri Membangun Desa (PMMD).

Program ini sendiri memiliki banyak fungsi dan sektor dan Risna memilih untuk fokus pada pendidikan sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya sejak awal.

Inisiasi mendirikan Rumah Cerdas Perempuan Komunitas Arfak dilatarbelakangi oleh rasa prihatin yang muncul setelah menyaksikan sendiri, bagaimana mama-mama (sebutan untuk ibu di Papua) di Kobrey oleh pemerintah setempat diminta untuk membuat kebun percontohan.

Mereka disuruh bekerja membuat lahan namun cuma dimodali bibit dan modul sebagai petunjuknya.

Masalahnya, bagaimana mama-mama Papua ini bisa memahami modul tersebut jika membaca saja tidak tahu.

Padahal, masyarakat Papua itu pintar bertani. Pertanian di sana lumayan berkembang, bisa untuk menghidupi.

"Hanya saja, pemerintah tidak betul-betul melihat persoalan dasar yang terjadi. Bahwa bukan masalah bertani, tapi bagaimana mendidik masyarakat Papua agar bisa bertani dengan lebih produktif," ungkap Risna.

Risna juga semakin termotivasi untuk membangun rumah belajar setelah Ibu Kepala Kampung atau mama Yosina yang sendiri minta diajari untuk membaca.

Ternyata bukan hanya Mama Yosina, mama-mama lain yang buta huruf juga antusias ingin belajar.

Antusias mereka menumbuhkan semangat Risna kian menggebu dan memotivasinya untuk mendirikan Rumah Cerdas Perempuan Komunitas Arfak.

Di rumah belajar tersebut Risna mengajar para mama dan juga anak-anak membaca, menulis, dan berhitung.

Perjuangan Risna dalam mencerdaskan para perempuan di suku Arfak tentu tidak terlepas dari berbagai halangan dan rintangan.

Sejak awal kedatangannya di Kampung Kobrey, ia telah mengalami kesulitan. Walau datang ke Papua Barat dengan mengikuti program pemerintah, namun nyatanya gaji Rp4 juta yang dijanjikan tak kunjung cair selama 4 bulan.

Namun lagi-lagi itu bukan penghalang.

Tekadnya sudah bulat. Ia memilih meneruskan perjuangan walau harus menggunakan biaya sendiri.

Persoalan jarak dari rumah menuju tempatnya mengajar juga jadi tantangan tersendiri karena sulit dijangkau sedangkan saat itu belum banyak transportasi umum. Hambatan lain datang dari lingkungan sekitar.

Ia adalah seorang muslim dan berhijab, berbeda dengan masyarakat setempat yang mayoritas non muslim.

Karena itu tindakan-tindakannya kerap disalahpahami warga.

"Mereka selalu sulit menerima saya, apabila saya terlambat merespons kebutuhan pelayanan (untuk mengajar), mereka selalu mengaitkan bahwa itu adalah karena agama saya berbeda dengan mereka” begitu ungkap Risna.

Selain respon masyarakat yang kurang baik di awal, Risna juga merasakan kurangnya respon dari pemerintah daerah yang kala itu masih menyepelekan masalah pendidikan.

Tidak hanya itu, perjuangan terberat yang dirasakan Risna adalah saat mendapat pelecehan seksual dan kekerasan fisik oleh orang yang tidak suka akan kehadirannya.

Bahkan dirinya pernah nyaris diperkosa oleh pemuda setempat, untungnya ia berhasil melakukan perlawanan yang meninggalkan luka lebam di pelipis dan pendarahan dihidung yang menyebabkan ia harus berobat selama 6 bulan.

Karena kejadian tragis tersebut Risna sempat putus asa dan berniat untuk kembali ke tanah kelahirannya.

“Saya tadinya ingin pulang, tetapi mereka menangis di dekat sumur. Mereka bilang, kita mau jadi apa kalau kak Risna pulang?”

Mendengar keluhan murid-muridnya itu, perempuan alumni Jurusan Pendidikam Ekonomi Universitas Patimura Ambon ini luruh dan mengurungkan niat. Pengabdiannya belum selesai.

Ia memang sempat pulang ke Banda Naira, namun hanya dua pekan untuk berobat lalu kembali lagi ke Kampung Kobrey.

Bersyukur kali itu, saat kembali ke Papua keluarganya sudah mendukung, begitupun dengan pemerintah yang mulai tergerak memberikan dukungan positif pada perjuangan Risna dalam memajukan anak-anak dan para perempuan di Kobrey melalui pendidikan.

Perjuangan Risna memang penuh kerikil tajam dan berliku dan merupakan sebuah perjalanan yang tidak mudah.

Namun demi mencerdaskan anak-anak dan para perempuan dari Suku Arfak, demi membebaskan mereka dari buta aksara, Risna pantang menyerah.

Ia memulai langkahnya dengan membangun Rumah Cerdas Perempuan Arfak dan kini ia telah memetik buah dari jerih payahnya selama beberapa tahun terakhir.

Berkat pembinaan yang ia lakukan banyak perempuan Arfak yang telah mengalami perubahan.

Setidaknya kini mereka tidak lagi buta huruf dan bisa mengejar ketertinggalan.

Perjuangan Risna dalam mengentaskan buta huruf di Kampung Kobrey pun diapresiasi oleh Astra.

Risna merupakan salah satu penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2015 pada kategori pendidikan.