Bikin Merinding! Menguak Suku Kalang, Mitos Manusia Berekor
- Istimewa
Siap – Penemuan makam Suku Kalang atau Wong Kalang di Desa Gondang, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur beberapa waktu lalu, kembali membuka misteri keberadaan kelompok yang disebut sebagai salah satu suku asli orang Jawa tersebut.
Kepala Seksi Sejarah, Museum, dan Kepurbakalaan Disparporabud Nganjuk Amin Fuadi membenarkan hal itu jika dilihat dari peninggalan dan karakter makamnya.
Lantas, siapakah wong Kalang itu? Merujuk ke sejumlah sumber dan sejarawan Suku Kalang diyakini sebagai subsuku Jawa yang hidup ribuan tahun silam.
Bagi orang Jawa, suku Kalang sebenarnya cukup banyak diceritakan. Bahkan manusia dari suku Kalang disebut memiliki ekor kecil.
Dianggap suku yang aneh dan misterius namun mempunyai kemampuan daya linuwih diatas rata-rata suku lain. Suku Kalang dikenal ulet, rajin dan memiliki kekayaan berlimpah.
Keberadaan Suku kalang mengalami pasang surut sejak jaman Belanda dan raja-raja di Jawa. Diduga anak turunanya sekarang berada di Kotagede, Jogjakarta.
Suku Kalang memiliki kultur kebudayaan berbeda dari masyarakat Jawa umumnya walau dari warna kulit, cara berpakaian, dan bahasa memiliki kemiripan dengan etnis Jawa.
Namun, tetap ada perbedaan yang mencolok kendali sudah melalui proses berabad-abad hidup berdampingan.
Bisa dikatakan bahwa Suku Kalang merupakan subetnis Jawa ketimbang etnis tersendiri. Jika dianggap berlebihan tepatnya Suku Kalang masuk dalam subkultur Jawa.
Dalam sebuah risalah yang dipublikasikan tahun 1988, peneliti Prancis Claude Guillot berpendapat ada empat hal pokok pembeda Suku Kalang dengan Suka Jawa. Ini cukup signifikan.
Pertama berbeda dengan etnis Badui, di mana, label “Badui” -nya, disematkan pihak orang luar.
Sementara pada Suku Kalang atribut ‘Kalang”, diklaim oleh mereka sendiri. Ini berarti, nama “Kalang” merupakan konstruksi identitas. Eksistensinya dibangun oleh kelompok Wong Kalang itu sendiri. Konstruksi ke-liyan-annya bukan ditentukan orang Jawa.
Kedua sistem perkawinan. Sifatnya cenderung endogami yaitu mereka memilih tidak akan menikah dengan orang selain sukunya.
Jika melanggar maka dianggap bukan Kalang sejati. Dari catatan Mitsuo Nakamura 1983, mayoritas perkawinan Suku Kalang terjadi dengan para keponakan malah bisa pada garis pertama.
Tidak hanya itu, para suku Kalang sering terjadi saling tukar partner pernikahan di antara suku Kalang lain.
Ketiga soal profesi. Mayoritas Suku Kalang merupakan pedagang sebagian bertukang dan bukan petani seperti profesi umum masyarakat suku Jawa.
Lantas terlihat budaya Suku Kalang walau pun minoritas dan dianggap minoritas dari budaya suku Jawa, justru berada diposisi superior setidaknya dalam catatan sejarah di Kotagede. Ini menunjukkan adanya keberhasilan capaian ekonomi mereka.
Keempat tentang budaya, di mana pada Suku Kalang cenderung kaku sangat mempertahankan keasliannya yakni ritus-ritus pra-Islam. Beda dengan budaya Jawa yang berkembang dengan asimilasi berbagai ritus.
Namun, Wong Kalang jika ditanya perihal agama mereka mengaku Islam. Tapi suku Kalang masih memiliki ritual pemakaman obong kalang misalnya yang notabene sudah tidak populer pada tradisi Jawa.
Menariknya, pada upacara obong kalang kelompok ini tidak membakar jasad orang yang meninggal seperti upacara ngaben di Bali melainkan membakar boneka “puspa gambar”.
Sebuah boneka terbuat dari kayu. Biasanya, boneka itu didandani pakai baju yang biasa dikenakan orang semasa hidupnya. Sementara jasadnya tetap dikubur seperti biasanya. Sementara jadwal ritual obong kalang, menyerupai sistem kalender budaya Hindu Bali bukan sistem kalender budaya Jawa.
Mitos Suku Kalang sebagai Manusia Berekor
Sebagai suku yang ‘dipinggirkan’ dalam sistem sosial, Suku Kalang kerap dimitoskan sebagai manusia yang belum lengkap evolusinya.
Bahkan Suku Kalang disebutkan sebagai manusia yang memiliki ekor. Lazimnya, mitos wong Kalang berekor justru berkembang dan beredar di kalangan masyarakat di luar Suku Kalang. Dalam hal ini mitos tersebut berasal dari Suku Jawa.
Berdasarkan catatan etnograf Mitsuo Nakamura dalam bukunya terbitan tahun 1983 mengungkapkan fakta lain seputar Suku Kalang.
Menurutnya ada legenda lokal maysarakat Kotagede, Jogjakarta yang menyatakan wong Kalng merupakan tawanan perang yang dibawa Sultan Agung dari Bali.
Sementara, Claude Guillot merekam ada dongeng Suku Jawa yang menyebutkan Suku Kalang keturunan manusia dan anjing.
Selain itu dipaparkan perilaku suku ini yang nomaden serta hidup dan berkembang di sekitar pinggiran hutan atau setara dengan kelas pariah atau kasta sudra.
Nakamura merekam dongeng yang mengungkapkan Suku Kalang mendapat kutukan Tuhan karena melakukan kawin sumbang antara seorang wanita dengan seekor anjing.
Namanya dongeng segala sesuatu bergerak liar sesuai alur fantasi dan imajinasi penuturnya. Namun dampaknya luar biasa terhadap pandangan dan sikap orang Jawa terhadap Suku Kalang yang cenderung memandangnya kelompok ini secara negatif.