Berwisata Menelusur Jalur Kereta Api Sukabumi-Cianjur
- wikimapia.org
Siap – Di peron Stasiun Sukabumi tampak lengang pagi itu, Sabtu, 23 Desember 2023. Segelintir petugas hilir-mudik.
Sementara beberapa penumpang, orang tua, remaja, hingga anak-anak, masih mengantre di depan loket.
Saat kereta tiba, anak-anak di depan loket berjingkrak riang. Mereka antusias melihat kereta, meski bukan kereta tujuannya.
Di salah satu sudut, tak jauh dari lokasi anak-anak tersebut, tampak seorang sepuh ikut merasakan kebahagiaan. Ia merasa kembali ke masa kanak-kanak saat Sang Opa gemar mengajaknya ke stasiun.
Stasiun Sukabumi, menurut Bartholomeus Immanuel (67) kepada siap.viva.co.id, memiliki banyak kenangan indah.
"Opa selalu bawa saya ke stasiun lihat kereta," kata Immanuel.
Sejak umur 3 tahun, kakek Immanuel selalu mengajaknya berkunjung ke stasiun sembari bercerita tentang sejarah. Sang kakek, menurutnya, sangat terkesima dengan arsitektur Stasiun Sukabumi.
"Stasiun ini sungguh indah dan cantik," kata Immanuel menirukan ucapan kakeknya.
Stasiun Sukabumi kali pertama dibuka tahun 1882. Dahulu, lanjutnya, terdapat 5 jalur dan memiliki percabangan jalur ke arah Cikembar.
Kini, hanya tersisa 3 jalur. Jalur 1 khusus untuk KA Argo Pangrango, jalur 2 untuk KA Argo Siliwangi, dan jalur 3 pertukaran sepur atau kereta.
Pada masa pemerintahan Belanda, menurut Immanuel sebagaimana cerita Opanya, jalur menuju Cikembar difungsikan untuk mengangkut hasil bumi Priangan, seperti kopi dan teh.
Kopi, menurut Lasmiyati dalam buku Transportasi Kereta Api di Jawa Barat Abad ke-19, merupakan komoditas utama Jawa Barat dan menjadi incaran pasar Eropa.
Di Batavia dan Karawang semula pernah dilakukan uji coba tanam kopi. "Hasilnya kurang memuaskan dibandingkan dengan kopi yang ditanam di dataran Sukabumi," tulis Lasmiyati.
Arus transportasi barang lantas menjadi fokus pemerintah Belanda. Jalur Buitenzorg (Bogor)-Bandung-Cicalengka merupakan lajur kali pertama (1878-1884) yang dibangun di Priangan untuk kepentingan ekonomi terutama lalu-lintas Bandung dan Batavia (Jakarta).
Jalur tersebut, juga menghubungkan Sukabumi dan Cianjur.
Menuju Stasiun Lampegan
Sekira pukul 10.00 WIB, aktivitas di Stasiun Sukabumi mulai ramai. Para calon penumpang memadati setiap sudut tempat.
Sebagian calon penumpang hendak menuju Bogor, sementara sebagian lainnya menuju Cianjur. Di sana mereka berbaur menjadi satu, namun berbeda peron.
Keramaian tersebut membuat para awak kereta api sibuk. Masing-masing petugas bersiap di posisi dan satuan tugas. Termasuk, Doni Purwanto, masinis lokomotif.
"Kita siap-siap. Nanti kita bakal lihat terowongan Lampegan," kata Doni kepada siap.viva.co.id.
Selang 15 menit kemudian, Kereta Api Argo Siliwangi berangkat. Tepat waktu.
Rombongan harus melewati dua stasiun, Stasiun Gandasoli dan Stasiun Cireungas.
"Insyaallah lama perjalanan ke sana (Lampegan) sekira 40 menit. Silakan nikmati perjalanannya," kata Doni.
Benar saja. Belum juga sampai Stasiun Gandasoli, pemandangan begitu indah. Sungguh memanjakan mata.
Kereta api berjalan tak terlalu cepat.
Menurut Doni, kecepatan itu maksimal 45 km per jam dan minimal 20 km per jam.
"Tergantung lokasi," katanya.
Bukit dan lembah-lembah nan hijau menghiasi perjalanan kami. Sesekali juga tampak persawahan terasering. Sekali lagi, perjalanan menuju Stasiun Lampegan membuat diri terlena.
Terowongan Lampegan dan Kisah Nyai Sadea
Persis pukul 10.55 WIB kami sampai di Stasiun Lampegan. Stasiun tersebut terletak di Cimenteng, Campaka, Cianjur.
Tak jauh dari stasiun, terowongan yang sebelumnya kami lewati dari dalam kereta api mulai terlihat jelas.
Bangunan bersejarah itu bernama Terowongan Lampegan.
Berdasarkan catatan sejarah, Terowongan Lampegan dibangun oleh perusahaan kereta api SS (Staats Spoorwegen) pada 1879 sampai 1882.
Adapun cerita di balik nama tersebut, Immanuel mengatakan berasal dari bahasa Belanda, "lampen aan" yang berarti "nyalakan lampu".
"Opa saya cerita itu berdasarkan literatur. Dulu saya punya catatan tentang itu. Tapi sekarang entah di mana," kata Immanuel.
Meski demikian, ia juga mengatakan di balik nama Lampegan ada juga yang mengungkapkan kata tersebut berasal dari ucapan van Beckman, "lamp pegang, lamp pegang.." (pegang lampunya..), saat memantau para pekerjanya yang sedang membobol bagian dalam terowongan yang tentunya gelap gulita.
Dikarenakan orang Sunda sulit melafalkan bahasa Belanda, akhirnya masyarakat sekitar menamai Lampegan.
"Tidak ada yang pasti, mana yang benar. Tapi yang pasti, Lampegan memiliki nilai historis," katanya.
Selain sejarah Terowongan Lampegan, kisah menarik lainnya adalah mengenai seorang ronggeng asal Karawang, Nyai Sadea.
Cerita hilangnya Nyai Sadea usai peresmian terowongan masih terjaga hingga saat ini.
Kisah tersebut terus berkembang di masyarakat Desa Cibokor, Kecamatan Cibeber, Cianjur.
"Pada 1882, Terowongan Lampegan selesai dibangun. Untuk menghibur pejabat Belanda dan menak-menak Priangan, diundang Nyai Sadea dari Karawang," kata Immanuel.
Sadea, masih kata Immanuel, merupakan ronggeng kawakan pada saat itu.
Pertunjukan baru selesai dini hari. Nyai Sadea kemudian diantar pulang oleh seorang pria melalui terowongan tersebut.
"Saat melintas, mereka hilang. Tidak tahu di mana. Sampai sekarang," katanya.
Bahkan Immanuel juga mengaku, saat kecil ia pernah ditunjuki salah satu buku yang terdapat kisah hilangnya Nyai Sadea.
"Di buku Belanda itu terdapat seperti flyer hilangnya Nyai Sadea," katanya.
Setelah hilangnya Nyai Sadea, cerita mistis pun mulai berkembang. Salah satunya tentang salah satu "penguasa" terowongan yang menculik Nyai Sadea untuk dipersunting.
"Tapi itu hanya cerita masyarakat. Saya belum terlalu yakin," katanya.