Lika liku Kisah Ridwan Nojeng Sang Pahlawan Lembah Hijau Rumbia

Potret kawasan wisata lembah hijau Rumbia
Sumber :
  • Istimewa

Siap –Kerja keras Ridwan Nojeng dalam upaya pelestarian lingkungan melalui pertanian organik dan wisata desa berbuah manis dan mendapat penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia) Awards tahun 2016 untuk bidang lingkungan.

Penghargaan tersebut diraih Ridwan Nojeng lantaran Ia dinilai berhasil membangun kawasan wisata alam dan memberdayakan petani di Desa Tompo Bulu, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.

Kiprah Ridwan dalam Penghargaan ini menjadi titik balik perjuangannya yang selama ini dicemooh dan dianggap sebelah mata oleh pemerintah dan masyarakat.

“Kami bisa membuktikan bahwa tanpa bantuan pemerintah kita mampu berbuat. Kita memang awalnya diabaikan. Ternyata kita mampu berbuat dan pemerintah tak bisa pungkiri bahwa Lembah Hijau yang mengangkat pariwisata di Jeneponto. Lembah Hijau yang pertama yang kemudian diikuti oleh desa lain. Beberapa desa sudah persiapan untuk wisata air terjun, kebun kopi dan agrowisata.” ungkap Ridwan seperti dilansir Monggabay.

Usai berhasil memperoleh penghargaan itu, Ridwan berkeliling ke berbagai kampus di Sulawesi sebagai pembicara terkait lingkungan.

Sebuah kebanggaan tersendiri baginya karena ia tak pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Ia juga kerap diundang menjadi mentor untuk bangunan konstruksi bambu di hadapan mahasiswa teknik arsitektur.

“Saya selalu berkampanye mengajak pemuda untuk menjadi petani. Di mana-mana saya mengajak mahasiswa kembali ke kampung. Sumber daya alam kita melimpah, manusianya yang tidak memanfaatkan kekayaan alam tersebut.” katanya.

“Kalau mengajak anak-anak muda untuk berkegiatan kini lebih mudah karena telah terlihat hasilnya. Jadi bukan sebatas teori lagi tetapi aksi nyata. Ini juga menunjukkan tak mesti menjadi sarjana kalau ingin berbuat sesuatu.” sambungnya.

Ridwan Nojeng sendiri sebelumnya aktif di berbagai kegiatan lingkungan.

Pada 2006 bersama rekan-rekannya ia membentuk komunitas Lembah Hijau. Kegiatannya mulai dari penanaman pohon, pembibitan dan pembuatan pupuk organik.

“Latar belakangnya ketika itu adalah kondisi debit air mulai kurang, tandus, dan sebagai bentuk kepedulian akan alam. Saya inisiatif mengajak pemuda untuk menanam pohon. Ternyata ada sekitar 60 orang yang terlibat dan banyak dari desa lain juga,” katanya.

Mereka mengawali kegiatan dengan menanam pohon di pinggir jalan dan bantaran sungai.

Seiring waktu, aktivitas mereka mulai membuahkan hasil dan mendapat perhatian warga. Warga pun kemudian malah berharap kegiatan tersebut terus berlanjut.

Selama tiga tahun, 2006-2008 mereka intens melakukan penanaman pohon.

Kegiatan ini masih berlanjut hingga sekarang. Mereka juga mulai melakukan pembibitan, khususnya tanaman yang disenangi warga, seperti pohon Suren.

Suren termasuk jenis kayu nomor satu di Sulsel untuk membangun rumah.

Belakangan, mereka lebih banyak menanam bambu dan beringin. Pertimbangannya, pohon Suren berpotensi ditebang ketika sudah besar. Lain halnya dengan bambu dan beringin.

“Kalau pohon bambu semakin ditebang malah semakin subur, sekali nanam tak akan mati. Bambu juga sangat bagus menahan tanah.Di musim apapun akan bertahan. Sementara pohon beringin tak akan ditebang karena dianggap ada setannya.” ucapnya.

Mereka juga memproduksi pupuk organik memanfaatkan kotoran sapi dan kuda.

Awalnya pupuk ini dibagi secara gratis. Setelah dirasakan manfaatnya, warga kemudian dilatih untuk membuat pupuk sendiri. Kini warga tidak hanya menggunakan pupuk untuk kebun sendiri tetapi juga diperjualbelikan ke petani lain.

“Saya ketika itu berpikir kegiatan apa yang bisa meningkatkan pendapatan warga, membangun ekonomi kerakyatan, dan bagaimana ekonomi bergerak secara merata. Saya melihat tanah di sini subur, tidak kalah dengan Jawa. Masalahnya pada pengelolaannya yang keliru. Setelah itu ada kegiatan pengenalan pupuk organik, masyarakat kemudian beralih dari pertanian tradisional ke modern,” katanya.

Mengajak warga beralih ke pertanian organik bukan hal yang mudah karena karakter masyarakat Jeneponto yang dikenal ‘keras’.

Masyarakat ragu kotoran sapi dan kuda bisa dijadikan pupuk. Ridwan kemudian menempuh strategi khusus, yaitu dengan mengajarkannya terlebih dahulu ke anak-anak petani tersebut.

“Awalnya anak-anak mereka menggunakan pupuk organik di kebun. Seminggu terlihat ada beda tampilan tanaman yang diberi pupuk dan yang tidak. Di situlah mereka penasaran dan malah meminta semua tanaman mereka disemprot juga. Begitulah petani di sini, berpikir pakai mata.” tuturnya.

Kini sebagian warga mampu membuat pupuk organik sendiri. Pertanian modern pun mulai dilakukan, antara lain dengan menggunakan mulsa untuk tanaman sayuran, yang bisa meningkatkan hasil pertanian berkali-kali lipat.

Kesejahteraan warga mulai terlihat. Kawasan wisata Lembah Hijau Rumbia yang dikelolanya sejak 2014 dibangun menggunakan kayu dan bambu, saat ini berkembang pesat menjadi kawasan pelopor wisata alam di Jeneponto.

Sejak mendapat penghargaan, aktivitas Ridwan yang sebelumnya dicemooh warga dan pemerintah, sekarang diapresiasi dan sering jadi pembicara di berbagai kampus di Sulawesi tentang lingkungan dan mengajak generasi muda untuk kembali ke desa untuk bertani.